Jumat, 08 Agustus 2008

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL


Abstract

Masyarakat yang sehat dan demokratis adalah masyarakat yang hidup dalam pluralitas namun mampu menghormati dan memperlakukan identitas budaya lain seperti identitasnya sendiri, menjamin hak-haknya serta memenuhi segala kelayakan sebagai entitas yang sama yang bisa maju bersama mewujudkan budaya toleran dalam hidup bebangsa dan bernegara.

Multikulturalisme dalam prakteknya adalah pemberian kebebasan untuk menjalankan dan memenuhi segala keuikan masing-masing budaya yang ada. Terjamin secara legal oleh Undang-undang dan secara moral-cultural diakui oleh masyarakat. Tanpa adanya toleransi dan keterjaminan berekspresi, niscaya tidak akan ada multikulturalisme dalam praktek kemasyarakatan secara kongkret.

Dalam bingkai pembelajaran dan pendidikan, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi ini. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.

Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.

Makalah ini menghadirkan pembahasan tentang subtansi agama sebagai penopang pendidikan multikulturalisme. Kalau selama ini agama dianggap membatasi masalah ansich dan ekslusif pada masalah internal (agama Islam) saja, maka pada dasarnya, yang ada pada diri agama Islam sebenarnya tidaklah demikian. Agama Islam mengatur lebih dari sekedar rutinitas ritual, agama Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk senantiasa menjaga hubungan harmonis dengan seluruh alam, terlebih hubungan horizontal dengan sesama manusia. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimanakah mewujudkan kesadaran multicultural ini? Makalah ini menyuguhkan jawabannya.

Kata Kunci; Multikultural, Multikulturalisme, Pendidikan Multikultural

*Mustatho’, Guru PAI SMK al-Mustawa dan Paket B, Pon-Pes Al-Musthofa,

Prambontergayang Rt.02/11 Soko Tuban 62372.

Alamat, Pon-Pes Al-Musthofa, Prambontergayang Rt.02/11 Soko Tuban 62372.

Telp. 0815-7878-5376.

I. PENDAHULUAN

Terma multikulturalisme adalah gabungan dari tiga kata sekaligus, yakni multy (banyak), cultur (budaya), isme (aliran/paham). Multikulturalisme secara singkat, adalah sebuah paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya. Artinya, tidak ada pembedaan stereotype antara kebudayaan suku "primitif" dan peradaban masyarakat industri modern. Keduanya memiliki kesetaraan nilai, dan peran yang dalam mengabdikan kekhususan peran sosial-historis masing-masing[1].

Sebagai sebuah ide, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur sosial masyarakat yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Multikulturalisme juga, mau tidak mau harus menjelaskan hak persamaan dalam berbagai permasalahan masyarakat, melingkupi politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum (law enforcement) kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Multikulturalisme dalam praktek merupakan suatu strategi dari integrasi sosial di mana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan, bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial yang bisa melahirkan persatuan kuat, tetapi justru pengakuan tehadap adanya pluralitas (kebhinnekaan) budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang demokratis.[2]

Dalam masyarakat plural, seperti di Indonesia multikulturalisme adalah hal niscaya yang harus melekat sebagai sebuah paham dalam diri masing-masing comunitas, -paham keberagaman dalam kesatuan ini akan mengeleminasi segala konflik. Pengalaman konflik yang cukup frekuwentif yang terjadi pada beberapa tempat[3] dapat dijadikan tolok ukur bahwa negeri ini masih merangkak dalam memahami subtansi multikulturalisme.

Pengembangan faham multikultural dalam masyarakat tidak akan pernah terbentuk dengan sendirinya. Dibutuhkan proses yang panjang dan sistematis. Paham multikultural sebagai entitas yang paling asasi dalam membentuk hubungan harmonis kemasyarakatan ini harus tertanam semenjak dini, dan salah satu lembaga yang tepat untuk menanamkan dan mengembangkannya adalah lembaga sekolah, melalui kurikulum pendidikan yang akomodatif terhadap kepentingan ini. Dalam konteks ini, tentu saja pengajaran agama Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah harus memuat kurikulum berbasis keanekaragaman (multikultur). Pendidikan agama Islam diberikan kepada siswa tidak dalam bentuk kurikulum yang tunggal, melainkan kurikulum pendidikan yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh. Kurikulumnya bisa meliputi beberapa subjek pelajaran, seperi toleransi, Aqidah Inklusif, Fiqih Muqarran dan perbandingan agama serta tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama

Dengan cara ini, kurikulum PAI dapat menampilkan wajah Islam yang toleran, menyejukkan dan mengayomi semua masyarakatnya, juga masyarakat sekitarnya. Sehingga tepat kiranya menyebut istilah kurikulum dengan makna dasarnya, yaitu "construct", yang berfungsi untuk membangun dan mengalihkan nilai positif kepada generasi berikutnya. Kurikulum yang toleran akan sangat membantu kepada paham inklusif siswa, berbuat ramah kepada sesamanya dan golongan lain. Tentunya jika kurikulumnya memang mengandung unsur yang demikian. Posisi kurikulum semacam inilah yang mampu membangun kehidupan masa depan lebih damai dan tercerahkan. Hanya dengan base on curriculum semacam ini yang memungkinkan untuk mengajarkan PAI sesuai dengan prinsip –prinsip ajaran Islam yang humanis, demokratis dan berkeadilan kepada peserta didik. Sebuah prinsip-prinsip ajaran Islam yang sangat relevan untuk memasuki masa depan dunia yang ditandai dengan adanya keanekaragaman budaya dan agama.

II. SEJARAH AWAL PEMIKIRAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

Pada fase awal, Indonesia telah mengenal fondasi awal multikulturalisme dari pemikiran beberapa tokohnya. Seperti prinsip egalitarian yang muncul pertama kali melalui tulisan Abdul Rivai pada tahun 1902 dalam karyanya Bangsawan Pikiran, ia memperkenalkan istilah bangsawan pikiran sebagai pengganti dari bangswasan asal. Dengan memperkenalkan istilah bangsawan pikiran untuk menggeser bangsawan asal, kalangan inteligensia modern ingin mendobrak konstruksi sosial yang timpang dan previledge status keningratan bangsawan asal di atas kelompok lain, untuk digantikan dengan bangsawan fikiran yang mengutamakan prestasi dan kesetaraan.[4]

Mulai dari sinilah imaji keindonesiaan dibangun di atas fondasi kesetaraan dari tiap-tiap orang yang memperjuangkannya, dimana penghargaan terhadap tiap-tiap orang diberikan atas dasar pencapaian prestasi dan komitmen kepada rakyat bukan atas dasar status keningratan maupun perbedaan etnis ataupun dominasi agama tertentu. Perubahan mentalitas dari pengagungan pada bangsawan asal menuju bangsawan pikiran membawa kalangan intelegensia modern Indonesia pada orientasi cita-cita kemadjoean.

Fenomena ini adalah perubahan revolusioner sebagai batu pijakan awal untuk membangun masyarakat terbuka, setara dan pluralistik. Semenjak saat itulah pergerakan nasional moderen dimulai pertama-tama sebagai upaya menghancurkan sekat-sekat hierarkhi masyarakat tribus yang menempatkan perbedaan asal-asul keturunan dan tatanan aristokrasi dalam posisi adiluhung. Respek terhadap keragaman atas dasar penghargaan terhadap nilai kesetaraan menjadi langkah awal membangun model nasionalisme inklusif dan berkeadaban sekaligus membongkar sekat-sekat ketimpangan social diantara kelompok-kelompok sosial di masyarakat.

Perjuangan mewujudkan karakter kebangsaan yang bercirikan inklusif-egalitarian ini menapak lebih jauh seiring dengan kemerdekaan Republik Indonesia. Lepasnya bangsa Indonesia dari rantai penjajahan diikuti dengan semangat kolektif bangsa untuk menghapuskan segala diskriminasi sosial yang diciptakan oleh formasi kolonialisme. Pada saat itu suatu simbol revolusioner baru yang mengandung semangat kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan muncul dalam istilah panggilan bung yang diperkenalkan oleh Soekarno. Kata sapaan bung yang berarti saudara dapat dibandingkan dengan kata citizen (rakyat) atau kamerad (kawan) dalam bahasa Rusia. Sebutan bung bagi kaum muda adalah bentuk sapaan egaliter karena tidak membedakan hierarkhi strata sosial. Kandungan makna yang muncul didalamnya--sesuai dengan konteks gelombang pasang api revolusi di Indonesia paska kemerdekaan--dapat diartikan sebagai “saudara revolusioner” atau “saudara nasionalis Indonesia”. Dalam istilah tersebut segenap strata sosial kaya, miskin, tua, muda dipersatukan dalam solidaritas sosial dan kesetaraan status bersama sebagai bangsa Indonesia.[5]

Titik kulminasi dari perjuangan kaum intelegensia nasional Indonesia untuk membangun fondamen bagi karakter bangsa kemudian tercapai dengan terumuskan nilai-nilai esensial kenegaraan Pancasila. Sejak awal perumusannya kalangan intelegensia dan pemimpin Indonesia seperti Bung Karno telah merumuskan Pancasila sebagai bentuk kesepakatandiantara kekuatan-kekuatan politik yang ada untuk membangun konsensus bersama diantara setiap identitas-identitas kebangsaan. Apabila mencermati momen sejarah di masa lalu, dapat dikatakan bahwa penghapusan tujuh kata yang tertera didalam Piagam Jakarta (menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dapat dikatakan sebagai kekalahan politik ummat Islam yang harus dibalas ketika waktunya tiba. Hal tersebut merupakan bentuk kebesaran hati dan ketajaman visi dari kalangan founding father kita untuk membangun sebuah cita-cita kebangsaan yang inklusif dan menjadikan Indonesia sebagai rumah kebangsaan bagi seluruh warganya tanpa terkecuali.

Prinsip kebangsaan Inklusif ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Sukarno dalam pidatonya tentang Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945, bahwa kebangsaan Indonesia bukanlah kebangsaan yang sempit. Negara yang hendak didirikan adalah negara “semua untuk satu”, “satu untuk semua” artinya semua orang berhak atas tanah air Indonesia. Indonesia yang dibangun haruslah berbasis pada suatu landasan bersama bagi berbagai aliran yang terdapat di kalangan rakyat.[6]

Menurut Nurcholish Madjid, Pancasila dapat disejajarkan dengan Sahifatul Madinah (sebagai bentuk eksperimentasi awal dalam pembentukan fondasi modern nation-state) sebagai sebuah piagam kontrak sosial bersama yang dibuat oleh Rasulullah SAW di Madinah yang mengatur bagaimana hubungan antara kaum muslim dan non-muslim untuk hidup bersama sebagai ummatan wahidah (ummat yang satu) dengan saling menghormati satu sama lain, dan menghargai “the other” (yang lain), bukan untuk dieksklusikan dalam kehidupan sosial bermasyarakat namun untuk hidup di atas basis kesetaraan, penghargaan terhadap aturan hukum ditengah kemajemukan sosial.

Soekarno, presiden RI pertama ini sering berucap tentang urgensi sejarah bagi sebuah kebesaran bangsa[7]. Masa lalulah yang dapat menjadi mutiara terpendam yang mampu menyegarkan langkah kita saat ini. Ketika kita memahami bahwa sejak awalnya negeri ini dibangun di atas nilai-nilai prinsipal yang menghormati keragaman, membela hak-hak sipil tiap warga negara dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial bagi semua, maka di masa depan memori tersebut menjadi lentera bagi kita untuk berdiri tegar menghadapi ancaman fanatisme golongan dan manipulasi demokrasi untuk kepentingan tirani yang mengklaim legitimasi suara mayoritas.

Pemahaman kritis terhadap karakter nasionalisme Indonesia yang sejak awal memiliki kesadaran yang terbuka dan egaliter (civic nationalism) dapat mencerahkan jalan kita untuk berkomunikasi dengan nilai-nilai moralitas internasional seperti pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, karena pada dasarnya komitmen awal kita untuk hidup berbangsa berjalan seiring dengan dinamika nilai-nilai universal kemanusiaan tersebut. Penelaahan reflektif terhadap akar-akar kebangsaan kita di masa lalu membuat kita tidak akan mengalami hambatan psikologis untuk merealisasikan nilai-nilai keadaban (civic virtue) dari bangunan modern nation-state saat ini.

Kesadaran inklusif bahwa setiap warga negara memiliki posisi setara adalah hal fundamental untuk pemenuhan terhadap agenda demokrasi konstitusional. Sebuah bangunan politik demokrasi dimana didalamnya tindakan politik ditujukan untuk menghadirkan keadilan sosial untuk semua.[8] Didalam bangunan politik yang memperjuangkan keadilan, tiap warga negara berperan sebagai agensi politik dalam penentuan berbagai permasalahan komunitas mereka.

III. MULTIKULTURALISME DALAM PANDANGAN AGAMA ISLAM

Multikulturalisme[9] yang bermakna penghargaan dan pengakuan terhadap budaya lain, secara normatif dapat dibenarkan keberadaannya. Multikulturalisme dalam Islam dapat dirujukkan minimal dari tiga kategori, yakni petama prespektif teologis, kedua prespektif historis dan ketiga prespektif sosiologis.

Multikultural dalam prespektif teologis Islam dapat ditemukan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui bahwa kemajemukan yang ada di dunia ini adalah sebuah kenyataan yang sudah menjadi sunnatullah (ketentuan Allah). Di dalam al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13 Allah menyebutnya bahwa kemajemukan adalah kehendakknya, sebagai arti ayat ini “Wahai manusia, sungguh telah Allah ciptakan kalian dari seorang lelaki dan perempuan, dan menjadikan kalian dari berbagai bangsa dan suku agar kalian saling mengenal….”[10] Abdullah Yusuf Ali dalam buku tafsirnya The Holy Qur’an: Translate and Commentary memberikan komentar bahwa ayat ini tidaklah ditujukan untuk persaudaraan muslim saja, tetapi kepada seluruh umat manusia, karena hakekat keduanya sama.

Dari ayat 13 surat al-Hujurat di atas, sangat tegas bahwa Islam pada dasarnya menganggap sama pada setiap manusia, yakni tercipta dan dilahirkan dari sepasang orang tua mereka (laki-laki dan perempuan), kemudian keterlahiran ini sendiri mempunyai tujuan untuk saling mengenal dan memahami karakter masing-masing kelompok seatelah manusia ini menjadi kelompok yang berbeda.

Dalam surat lain, Q.S. al-Rum ayat 22 Allah berfirman yang artinya “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.[11] Ayat ini menerangkan bahwa perbedaan warna kulit, bahasa, dan budaya harus diterima sebagai sesuatu yang positif dan merupakan tanda-tanda dari kebesaran Allah swt. Untuk itu sikap yang diperlukan bagi seorang muslim dalam merepon kemajemukan dan perbedaan adalah dengan memandangnya secara positif dan optimis, bahwa kemajemukan yang ada justru akan memperkokoh dan memperindah sisi kemanusiaan. Dengannya seorang muslim akan mampu bertindak dengan bijak dan selalu termotivasi untuk berbuat baik.[12]

Secara semiotik, ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang toleransi juga merupakan fondasi umat Islam dalam menatap keberagaman, baik kultur, ras, etnik ataupun agama. Q. S. al-Kafirun ayat 5 yang artinya “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”[13]. Surat berisi tentang prinsip untuk saling menghargai antar pemeluk agama. Mengingat tingginya arti toleransi ini, al-Qur’an justru memfasilitasi, bukannya mengebiri terhadap keberadaan orang yang beragama lain. Toleransi sendiri adalah nilai yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Terlebih di Indonesia, yang memiliki komposisi masyarakat yang sangat heterogen, terdiri dari berbagai suku, agama dan ras yang berbeda.

Multikulturalisme prespektif historis dalam Islam, dapat dirujuk langsung oleh sistem kenegaraan yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinahnya. Piagam Madinah ini adalah konsesi atas Hijrah Nabi Muhammad saw pada tahun 622 Masehi yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di Makkah. Sebelum hijrah, Nabi memulainya dengan membuat Perjanjian Aqabah (bai’at al-‘aqabah). Baiat adalah transaksi, seperti jual beli. Artinya, dalam perjanjian ada transaksi seperti jual dagang, berkompromi sampai pada yang disepakati. Kalau model baiat sekarang dipaksakan oleh guru dan secara membabi buta. Dahulu baiat didasarkan pada konsensus dan bargaining untuk saling mendapatkan. Dalam Perjanjian Aqabah pada tahun 621 M disebutkan bahwa orang-orang Madinah akan bersedia menerima Nabi dan sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah dengan jaminan Nabi bisa dipercaya menjadi rekonsiliator untuk menegakkan konflik kesukuan (tribal) yang tidak ada habisnya.

Karena semua menjadi bagian dari konflik, maka tidak ada yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan. Seperti halnya yang terjadi di Papua, antar suku sudah menjadi bagian konflik, tidak ada yang bisa menyelesaikan. Dalam perspektif antropologi perlu adanya outsider essential yang akan menyelesaikan konflik-konflik itu. Dan kabilah-kabilah di Madinah menerima Nabi tetapi dengan jaminan Nabi harus memerankan diri sebagai hakim yang adil dan bisa menengahi konflik antar suku karena mereka juga lelah.

Orang-orang yang terikat dalam perjanjian tersebut disebut sebagai ”umat”. Umat adalah siapapun yang ikut dalam semua kesepakatan atau perjanjian Piagam Madinah, termasuk di dalamnya adalah Nabi. Siapapun yang diserang akan dibela dan siapapun yang berkhianat akan diserang. Karena itu, pada zaman Nabi tidak ada yang menyerang kecuali dia berkhianat. Piagam Madinah disusun dalam posisi yang sama, hidup, kehormatan dan kehendak mencapai kebahagiaan menjadi jaminan dalam piagam tersebut.[14]

Prespektif ketiga adalah prespektif sosiologis intern umat Islam sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam praktek keberagamaan umat Islam di seantero dunia Islam. Secara internal umat Islam memeliki keanekaragaman madzhab fiqih, tasawuf dan kalam. Dalam bidang fiqih umat Islam Indonesia mengenal adanya madzhab lima, dari Imam Syafii dengan qaul jadid dan qadimnya, Imam Hanafi, Hambali, Abu Hanifah dan Imam Ja’far. Begitu juga dalam ilmu kalam, Imam al-Asy’ari, dan Maturidy disebut sebagai penggagas Ahlussunnah (Sunni), Wasil bin Atho’ dengan mu’tazilahnya, khawarij, murjiah juga ada Syi’ah dan para pendukung Imam Ali dibelakangnya.

Kemajemukan intern umat Islam juga ditemukan dalam praktek pengelompokan sosial, politik kepartaian serta model pendidikannya. Dinasti dan kekhalifahan yang pernah ada dalam sejarah Islam seperti Dinasti Mughal, Fathimiyah, Abasiah dan terakhir dinasti Turki Usmani adalah contoh konkret tentang keragaman yang ada dalam Islam. Dari sudut multikulturalisme internal ini, pluralisme identitas cultural keagamaan bagi masyarakat muslim, bukanlah menjadi sekedar fakta, lebih dari itu, multikulturalisme telah menjadi semangat, sikap hidup dan pendekatan dalam menjalani kehidupan dengan orang lain.

IV. MEWUJUDKAN PEMBELAJARAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Menurut Savage dan Amstrong,[15] pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat. Pendidikan multicultural lebih lanjut diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.[16]

Secara global, James A. Banks (1993, 1994-a)[17], mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:

1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.

2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;

3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.

4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.

5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.

Mengenai materi pendidikan agama Islam sendiri, menurut Z. Arifin Nurdin, gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang sulit ataupun baru. Setidaknya ada tiga alasan untuk itu. Pertama, bahwa Islam mengajarkan menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada integralitas taqwa dan kedekatannya dengan Tuhan.

Untuk merancang strategi hubungan multicultural dan etnik dalam sekolah dapat digolongkan kepada dua yakni pengalaman pribadi dan pengajaran yang dilakukan oleh guru. Dalam pengalaman pribadi dengan menciptakan pertama, siswa etnik minoritas dan mayoritas mempunyai status yang sama, kedua, mempunyai tugas yang sama, ketiga, bergaul, berhubungan, berkelanjutan dan berkembang bersama, keempat, berhubungan dengan pasilitas, gaya belajar guru, dan norma kelas tersebut.

Adapun dalam bentuk pengajaran adalah sebagai berikut : pertama guru harus sadar akan keragaman etnik siswa, tidak bisa dalam mendidik, kedua, bahan kurikulum dan pengajaran seharusnya refleksi keragaman etnik dan ketiga adalah bahan kurikulum dituliskan dalam bahasa daerah / etnik yang berbeda.

Jelasnya bila pengajaran multikultural dapat dilakukan dalam sekolah baik umum maupun agama hasilnya akan melahirkan peradaban yang juga melahirkan toleransi, demokrasi, kebajikan, tolong menolong, tenggang rasa, keadilan, keindahan, keharmonisan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Intinya gagasan dan rancangan sekolah yang berbasis multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan bahwa kehadirannya tidak mengaburkan dan atau menciptakan ketidakpastian jati diri para kelompok yang ada[18].

Sebagai langkah praksis, menurut Samsul Ma’arif, kurikulum pendidikan Islam setidaknya harus berisi beberapa muatan multikultural. Samsul mendeskripsikan solusinya ke dalam lima pokok muatan kurikulum;

a. Pendidikan agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqaron. Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.

b.Untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam . Sebagai contoh, dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudara kita yang beragama Budha. Dengan dialog seperti ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman khususnya dalam menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda agama. karena memang pada kenyataanya “Di Luar Islampun Ada Keselamatan”.

c. Untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan siswa-siswa untuk ikut kerja bhakti membersihkan gereja, wihara ataupun tempat suci lainnya. Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa diantara kita sekalipun berbeda keyakinan, namun saudara dan saling membantu antar sesama.

d.Untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti spiritual work camp (SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan siswa untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya, adalah siswa dapat belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, siswa akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.

e. Pada bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial pada anak didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”, misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa dengan anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang di sekitarnya yang kurang mampu.

Menurut penulis sendiri, -dalam posisi sebagai pendidik di Pesantren, peran multikultural akan semakin terasah dengan metode pendidikan yang mengarahkan langsung perserta didik pada praktek. Penulis menyebutnya sebagai metode pendidikan asimilasi, yakni pembauran antar peserta didik langsung dengan masyarakat[19]. Dalam lingkungan pendidikan umum, metode asimilasi ini dapat diturunkan ke dalam model pembelajaran kontekstual dan pemecahan masalah. Mengingat cakupan Kurikulum Pendidikan Agama Islam dengan muatan materi yang mencakup hampir pada semua nilai kemasyarakatan, pendidikannyapun dapat langsung diajarkan dengan berinteraksi dan memahami kondisi masyarakat yang ada di sekitar sekolah, tentunya yang ada kaitannya dengan materi pendidikan agama Islam.

Rekomendasi penulis bisa dipraktekkan dalam pelajaran Agama Islam, dengan subjek materi akidah akhlak misalnya, peserta didik tidak diharuskan untuk melulu belajar di kelas, dengan konteks memahami kemajemukan yang ada kaitannya dengan subtansi Akidah-akhlak, sekolah bisa mensiasati pendidikan dengan mengirim peserta didik melakukan penukaran belajar. Bentuknya bisa berupa pertukaran peserta didik dengan wali (orang tua) yang berbeda, dengan pertukaran silang ini sekaligus mengajarkan peserta didik langsung pada realita multikultural yang ada di masyarakat. Lingkup kecilnya, peserta didik akan langsung menghadapi kebiasaan (budaya) yang berbeda yang ditemui di rumah orang tua temannya, dan akan memahami secara langsung bagaimanakah sebenarnya perbedaan itu musti ada. Konsekuensinya, secara otomatis peserta didik akan mampu menerima dan menghayati perbedaan yang ada, minimal yang ia rasakan selama pertukaran pelajar ini.

V. PENUTUP

Sesuai dengan tujuan pendidikan sendiri yang menghendaki adanya perubahan perilaku dan sikap serta kualitas seseorang, maka pengajaran harus berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak sekedar memberi informasi atau pengetahuan melainkan harus menyentuh hati, dan mendorong hasrat peserta didik untuk bisa mengambil keputusan berubah, dan mempraktekkannya langsung sepanjang kehidupan manusia.

Mengambil prinsip pendidikan sepanjang hayat (long life education), Pendidikan agama Islam juga harus mampu menjiwai pada tingkat kesadaran paling dalam pada diri siswa. Dengan demikian, di samping bertujuan untuk memperteguh keyakinan pada agamanya, pendidikan Agama Islam berbasis multicultural juga harus diorientasikan untuk menanamkan empati, simpati dan solidaritas terhadap sesama, menjadikannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perilaku siswa keseharian terutama terkait dengan kemajemukan kultur (multicultural) yang ada. Maka, dalam hal ini, semua materi pelajaran yang diajarkan tentunya harus menyentuh dan bermuatan multikulturalitas. Dan dari sinilah urgensi multikultural bisa diajar dan dijalankan.

DAFTAR PUSTAKA

Binawah, Al. Andang L., Penyempitan kaebebasan Beragama, Yogyakarta, Basis, Januari –Februari 2004.

Dahm, Bernard, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta LP3ES, 1987.

Djamali, Fadhil, Al., Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, Jakarta, Golden Terayon Press, 1993.

Farris, P.J.,& Cooper, S.M., Elementary Social Studies: a Whole language Approach, Iowa: Brown&Benchmark Publishers, 1994.

Habermas, Jurgen, The Inclusion of the Other. Massachusetts: The MIT Press, 1998

Hara, A. Eby, Pengalaman Multikulturalisme di Berbagai Negara, dalam “Al-Wasathiyyah”, Vol I, februari 2006.

Hilmy, Masdar, Melembagakan Dialog, (Antar Teks) Agama, Kompas, Jakarta, 5 April 2002.

Kahin, George Mc Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Sinar Harapan dan UNS Press, 1995.

Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa: genealogi Inteligensia Muslim Indonesia abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005.

------------------, Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah, dalam “Islam, HAM, dan Keindonesiaan, Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama”, MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jakarta, 23 Mei 2007

Liliweri, Alo, Gatra Gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta, Pustaka pelajar,2001.

Makmun, Abin Syamsuddin, Psikologi Kependidikan, Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2001.

Ma’arif, Syamsul, Islam Dan Pendidikan Pluralisme, (Menampilkan Wajah Islam Toleran Melalui Kurikulum PAI Berbasis Kemajemukan), makalah disampaikan dalam Annual Conference Kajian Islam Di Lembang Bandung Tanggal 26-30 November Tahun 2006

Nafi’, Dian, M., dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta, LKiS, 2007.

Nurdin, Z. Arifin, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah, dalam www.dirjen.depag.ri.or.id.

Savage, T.V,& Armstrong, D.G., Effective Teaching in Elementary Social Studies, Ohio: Prentice Hall 1996.Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999).

Shihab, M. Quraisy, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 15 Vol., Jakarta: Lentera Hati, 2002

Suparlan, Parsudi, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, Simposium Internasional Bali, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002.

Tafsir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002.

Wasathiyyah, Al-, Belajar Multikulturalisme dari Pesantren, Vol. I, N0. I, Februari 2006.

YH, Yana Syafrie, Multikulturalisme dan Agenda Kemanusiaan, WASPADA Online, 22 Mei 2004 15:54 WIB

http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaran-berbasis-multikultural/


[1] Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, Simposium Internasional Bali, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002.

[2] Yana Syafrie YH, Multikulturalisme dan Agenda Kemanusiaan, WASPADA Online, 22 Mei 2004 15:54 WIB.

[3] Seperti separatisme Aceh yang menghasilkan status bumi serambi Mekah ini sebagai daerah istimewa (khusus), dengan penerapan syariat Islamnya, terlepasnya Timor Leste –terlepas dari debat tentang ketidak fairan bergabungnya negeri "Timor Manise" ini sebelumnya, Jaya Pura (Irian Jaya), dan daerah konflik lainnya adalah wujud ketidak harmonisan pemahaman pluralitas berbangsa kita.

[4] Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: genealogi Inteligensia Muslim Indonesia abad ke-20. Bandung, Mizan, 2005.

[5] George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Sinar Harapan dan UNS Press, 1995.

[6] Bernard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta LP3ES, 1987.

[7] Idiomatik “Jasmerah”, jangan lupakan sejarah, sering dirujuk oleh Soekarno sebagai pengingat untuk mengingatkan generasi setelahnya akan arti penting sejarah bangsa sebagai fondasi yang semestinya selalu dijadikan rujukan untuk membangun bangsa. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1969.

[8] Jurgen Habermas, The Inclusion of the Other. Massachusetts: The MIT Press, 1998

[9]Multikulturalisme oleh A. Eby Hara dibedakan dengan Pluralisme. Multikulturalisme dalam pandangannya lebih mengacu pada makna dan paham keberagaman dalam konteks kenegara dan bangsaan. Sementara pluralisme sendiri lebih pada makna toleransi keberagamaan. Lihat pada, A. Eby Hara, Pengalaman Multikulturalisme di Berbagai Negara, dalam “Al-Wasathiyyah”, Vol I, februari 2006, hal. 39.

[10] Surat al-Hujarat; 13 berbunyi: “ya ayyuha an-naasu inna khalagnakum min adz-dzakarin wa unsa wa ja’alnaakum syu’uban wa qabaaila lita’aarafu…”. Lihat lengkapnya dalam al-Quran al-Karim dan terjemahannya, Depag RI.

[11] Ayat ini berbunyai “wa min ayaatihi an khalaqa as-samaawaati wa al-Ardli wa akhtilaafi alsinatikum wa alwaanikum, inna fi dzaalika la-aayatii lil’alimiin, Depag Ri.

[12] Karena yang membedakan seorang muslim dengan muslim lain, serta lebih jauh dengan sesama manusia lain, hanyalah dengan takwanya, seorang muslim yang baik akan terpacu untuk berbuat baik, dikarenakan status yang sama yang dimilikinya.

[13] Asbab nuzul dari ayat ini adalah ajakan kaum kafir Quraisy untuk pencampuran agama, kaum kafir mau mengerjakan seruan Nabi Muhammad asalkan sebaliknya, Nabipun mau mengerjakan sesuai akidah mereka. Lihat pada M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 15 Vol., Jakarta: Lentera Hati, 2002.

[14] Yudi Latif, Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah, dalam “Islam, HAM, dan Keindonesiaan Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama”, di MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jakarta, 23 Mei 2007

[15] T.V Savage,& D.G. Armstrong, Effective Teaching in Elementary Social Studies, Ohio: Prentice Hall 1996.

[16] P.J. Farris,& S.M. Cooper, Elementary Social Studies: a Whole language Approach, Iowa: Brown&Benchmark Publishers, 1994.

[17] JamesA Banks, “Multicultural Educatian: Historical Development, Dimentions and Practrice” In Review of Research in Education, vol. 19, edited by L. Darling- Hammond. Washington D.C.: American Educational Research Association,1993.

[18] Z. Arifin Nurdin, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah, dalam www.dirjen.depag.ri.or.id.

[19] Beberapa pesantren klasik menerapkan system pembelajaran dengan langsung berbaur pada masyarakat, bahkan berinteraksi langsung dengan memakai sebagian rumah penduduk sebagai tempat tinggal, sekaligus tempat untuk belajar. Penulis pernah mengunjungi pesantren “watu congol” dan “pondok sepuh” di Mlangi, yang rata-rata rumah penduduknya dijadikan tempat menginap santri.

Tidak ada komentar: