Jumat, 08 Agustus 2008

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN MASALAH

A. PENDAHULUAN

Pembelajaran yang berlandaskan pada filosofi konstruktivisme berasumsi bahwa siswa belajar mengkonstruksi konsep melalui pengalaman hidupnya sendiri dan bukan menghafal konsep. Pembelajaran semacam ini senantiasa dikaitkan dengan koteks kehidupan siswa, agar mereka dapat menerapkan isi matapelajaran berkaitan dengan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pola pembelajaran ini lebih diarahkan pada memberdayakan peserta didik melalui berfikir aktif serta kreatif. Salah satu aplikasi pembelajaran kontekstual yang dianggap dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas paling baik bagi anak didik adalah membelajarkannya melalui pengamatan langsung kepada objek permasalahan yang sesungguhnya yang ada disekitarnya, seperti kondisi: alam, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang ada di sekitar sekolah di mana anak didik berada. Dengan demikian, pola pembelajaran tersebut bukan sekedar transfer ilmu antara guru dan murid, melainkan membebaskan dan melepaskan pikiran siswa untuk merasakan, mengamati, menemukan, dan menyimpulkan analisis secara pribadi. Dalam pembelajaran semacam ini guru berperan sebagai pembimbing, fasilitator, dan motivator yang membantu dalam proses belajar (self direct learning) di mana siswa dapat dengan bebas mengkonstruksi apa yang dilihat, diamati, ditulis, dan dipresentasikan berdasarkan pengalaman belajarnya sendiri, sehingga dapat mengembangkan kecakapan hidup siswa.

Pola pembelajaran kontekstual sebagai orientasi riset ini berpandangan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menguatkan, memperluas, menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademiknya baik di dalam maupun di luar sekolah, serta peserta didik dapat memecahkan berbagai permasalah dalam dunia nyata. Pembelajaran kontektual merupakan perpaduan banyak praktik pembelajaran yang pada akhir-akhir dianggap paling baik dan relevan bagi peningkatan keterampilan hidup peserta didik. Hal itu dimaksudkan untuk memperkaya relevansi dan penggunaan fungsi pendidikan bagi semua peserta didik.

Dalam pembelajaran kontekstual, para guru cenderung berperan sebagai fasiltator yang ”membantu” siswa mencapai tujuan belajar. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Guru dituntut mengelola kelas yang merupakan sebuah tim secara kooperatif menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Dalam hal ini siswa mendapatkan ”pengetahuan baru” yang berasal dari menemukan sendiri atas dasar pengamatan (penelitian lapangan) bukan dari apa kata guru. Guru membantu menghubungkan pengetahuan yang dimiliki siswa (etnry behavior) dengan pengetahuan yang ”baru” di dapatkannya, sehingga guru hanya mengarahkan dan menfasilitasi belajar serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan idenya. Dengan demikian, strategi belajar lebih dipentingkan daripada hasil belajarnya (Blanchard, 2001 dan Nurhadi, 2002-b: 1-2).

Dalam pembelajaran kontekstual terkait dengan interaksi/hubungan yang erat antara peserta didik dengan pengalaman sesungguhnya. Dalam hal ini siswa mengalami apa yang dipelajarinya bukan hanya apa yang diketahuinya. Atas hal tersebut, tampaklah bahwa pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggungjawab peserta didik sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa, dan bahkan sebagai pekerja.

Memperkuat pendapat tersebut di atas, Susilo (2001:3) memberikan penegasan bahwa penggunaan pembelajaran kontekstual memiliki potensi untuk tidak hanya mengembangkan ranah pengetahuan dan keterampilan siswa, tetapi juga, mengembangkan sikap, nilai, dan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah yang terkait dengan kehidupannaya. Demikian halnya Rostana (2002:4) menegaskan bahwa pembelajaran semacam itu bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks lainnya.

B. PEMBAHASAN

1. Pembelajaran Kontekstual

Crowford (2001) mencatat setidaknya ada lima strategi pembelajaran kontekstual yaitu Relating, Experinecing, Applying, Cooperating, dan Transfering. Kelimanya merupakan strategi pembelajaran yang dilaksanakan dalam konteks tempat lingkungan kelas, laboratorium, masyarakat, dan tempat kerja. Penjelasan masing-masing strategi tersebut sebagai berikut. Relating merupakan strategi mengajar kontekstual yang paling berpengaruh, yang beredar di "jantung" konstruktivis, terkait dengan konteks pengalaman hidup atau pengetahuan awal peserta didik. Di mana setiap guru mengkaitkan konsep baru dengan ide yang akrab dengan siswa. Experiencing adalah strategi mengajar yang melibatkan siswa, tujuannya agar melakukan kegiatan belajar dengan learning by doing yaitu mengalami sendiri melalui kegiatan eksperimen, penelitian, dan penciptaan. Kegiatan langsung dapat melibatkan manipulasi, pemecahan masalah, kegiatan praktikum di lapangan. Applying merupakan penerapan konsep yang ada dengan atau pada konteks lain. Cooperating adalah melakukan kegiatan kerjasama antara siswa, seperti melalui kegiatan diskusi kelompok atau diskusi kelas dan melakukan kegiatan praktikum di lapangan secara berkelompok. Selanjutnya, transfering merupakan kegiatan belajar penggunaan konsep pada konteks baru.

Nurhadi (2002-a:5) menjelaskan pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, basil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Selanjutnya, Nurhadi mencatat 15 kata kunci pembelajaran kontekstual sebagai berikut: (1) real world learning; (2) mengutamakan pengalaman nyata; (3) berpikir tingkat tinggi; (4) berpusat pada siswa; (5) siswa aktif, kritis, dan kreatif; (6) pengetahuan bermakna dalam kehidupan; (7) dekat dengan kehidupan nyata; (8) perubahan perilaku; (9) siswa praktik bukan menghafal; (10) learning bukan teaching; (11) pendidikan (education) bukan pengajaran (instruction); (12) pembentukan manusia; (13) memecahkan masalah; (14) siswa "acting" guru mengarahkan dan; (15) hasil belajar diukur dengan berbagai cara bukan hanya dengan tes.

Sedangkan elemen dalam pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut: (1) Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge); (2) Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memeperhatikan detailnya; (3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyunsun: (a) konsep sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan; (4) Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge ); (5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut (Zahorik, 1995:14-22 dalam Nurhadi 2002-a).

2. Pembelajaran Berdasarkan Masalah

Pembelajaran berdasarkan pemecahan masalah bertujuan/berguna untuk merancang siswa berpikir tingkat tinggi termasuk di dalamnya merangsang siswa belajar bagaimana belajar. Peran guru dalam pembelajaran ini adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan menfasilitasi penyelidikan, dan dialog. Dalam hal ini guru melakukan suatu kerangka dukungan yang memperkaya inkuiri dan pertumbuhan intelektual siswa. Pola pembelajaran ini tidak akan bisa terjadi tanpa adanya guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Penyajian masalah autentik dan bermaknalah yang dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri dalam proses belajar. Adapun ciri-ciri pembelaaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut (Ibrahim dalam Nurhadi, 2002-a).

1) Mengajukan pertanyaan dan masalah.

Pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pertanyaan dan masalah yang bermakna bagi siswa. Dalam hal ini yang diajukan adalah situasi kehidupan nyata (autentik) dan adanya berbagai macam solusi yang dapat derikannya.

2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin.

Meskipun pembelajaran ini berpusat pada masalah pada matapelajaran tertentu (seperti IPS-Geografi) masalah yang akan dikaji telah dipilih, yakni masalah yang benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah ini dari sudut pandang objek geografi dan matapelajaran lainnya.

3) Penyelidikan autentik.

Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik (semacam penelitian sederhana) untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang ada. Siswa menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis data/informasi, membuat referensi, dan merumuskan simpulan.

4. Menghasilkan karya dan mempresentasikannya.

Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau karya tulis dan kemudian meragakannya serta menjelaskan, atau bisa juga dalam bentuk suatu penyelesaian masalah yang ditemukan siswa. Produk tersebut dapat berupa karya tulis, laporan, karya/model/market, video, atau bahkan program komputer.

5. Kerja sama.

Pembelajaran berdasarkan masalah juga dicirikan oleh di mana siswa bekerja sama antara satu dengan lainnya dalam bentuk berpasangan atau kelompok kecil. Berkerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelajutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan berpeluang berbagi pengalaman dan berdialog untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.

Pembelajaran berdasarkan masalah ini sebenarnya dikembangkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilam intelektual. Pembelajaran ini melibatkan siswa ke dalam pengalaman nyata, sehingga menjadikan siswa sebagai pebelajar yang otonom dan mandiri. Pelaksanaan pembelajaran ini biasanya dimulai dari guru memperkenalkan kepada siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Pembelajaran akan lebih baik apabila diarahkan pada suatu bentuk belajar melakukan riset kecil-kecilan, sehingga siswa lebih aktif dan kreatif dalam menggali data dan informasi untuk mencaritahu permasalahan yang sedang akan dikaji dan memberikan berbagai alternatif pemecahannya. Hal tersebut yang menjadi pandangan dalam riset ini, di mana permasalahannya didasarkan atas permasalahan geografik yang sesungguhnya terjadi di sekitar lingkungan siswa. Contohnya: kasus tanah longsor dan banjir lahar dingin dari gunung semeru di Lumajang, pencemaran sungai di kota Malang, kasus kekeringan di Madura, dan banjir akibat luapan bengawan solo.

Salah satu bentuk pembelajaran berbasis permasalahan adalah dengan menggunakan pola outdoor study. Asumsinya bahwa belajar adalah proses yang dapat mengembangkan imajinasi berfikir siswa terhadap term-term permasalahan yang ada di sekelilingnya (Toffler, 1974:165; Kunkel, 1975:49). Belajar merupakan upaya menciptakan dan memancing emosi peserta didik untuk berfikir dan bekerja (bertindak) kritis terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya. Belajar ke arah pengembangan cara berfikir dan bertindak melakukan pemecahan masalah secara interdisipliner karena dengan cara mengamati langsung terhadap fakta empirik yang ada di lapangan dalam kehidupan sehari-hari (Toffler, 1974:170-177). Belajar dapat menggugah kepedulian sosial (social responsibility) terhadap kondisi dan lingkungan yang ada di sekitarnya (Toffler, 1974:159; Kunkel, 1975:3).

Pembelajaran outdoor study merupakan seperangkat alat pembelajaran yang dilakukan di luar kelas yang memanfaatkan kondisi lingkungan sekitar siswa (sebagai media pembelajaran). Pola pembelajaran semacam ini menempatkan siswa sebagai subjek (bukan objek) terdidik yang berinteraksi secara langsung dengan objek yang dikaji di lapangan (outdoor). Pola pembelajaran semacam itu mengarah pada aktivitas, kreativitas, dan kekritisan siswa yang menyebar pada ketiga domain (kognitif, afektif, dan khususnya psikomotor). Dalam melaksanakan pembelajaran semacam ini diperlukan langkah-langkah sebagai berikut.

1) Merumuskan tujuan: perumusan tujuan harus diuraikan dengan jelas dan tegas, menjelaskan alasan yang tepat, dan menguraikan pentingnya outdoor study.

2) Membuat rencana kerja: dibuatkan rencana yang konkrit mengenai tempat dan lokasi yang sesuai dengan topik bahasan yang akan dikaji atau dipelajari.

3) Membuat aturan atau menentukan berbagai aturan selama proses pembelajaran.

4) Menyusun tugas: membuat berbagai tugas yang harus dikerjakan atau dilakukan oleh siswa selama di lapangan.

5) Berdialog: selama di lapangan dilakukan berbagai diskusi dengan para siswa bahkan dengan masyarakat, di mana guru sebagai mediator diskusi tersebut.

6) Follow up: membuat laporan sebagai hasil selama melakukan pembelajar di lapangan dengan menggunakan format tertentu yang telah dirancang oleh guru dan selanjutnya mempresentasikannya.

Perolehan keterampilan yang diharapkan dalam pembelajaran dengan cara outdoor study antara lain berupa:

1) Keterampilan dasar seperti berupa tindakan mengobservasi, mengklarifikasi, mempre-deksi, mengukur, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan termasuk di dalamnya learning to do tentang apa yang diperbuat.

2) Keterampilan mengintegrasikan antara lain berupa mengidentifikasi beberapa variabel, menggambarkan hubungan antarvariabel, memperoleh dan menganalisis data, menyusun hipotesis, merumuskan beberapa variabel secara operasional, dan akhirnya melakukan beberapa eksperiman.

Membelajarkan siswa melalui pola pembelajaran tersebut bukan sekedar transfer ilmu antara guru dan murid, melainkan membebaskan dan melepaskan pikiran siswa untuk merasakan, mengamati, menemukan, dan menyimpulkan berdasarkan analisis secara pribadi. Di sini guru berperan sebagai pembimbing, fasilitator, dan motivator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.

Pembelajaran tersebut layak diterapkan pada mata pelajaran Geografi sebagai salah satu cabang ilmu terapan yang mempunyai kandungan ilmu yang luas yang berupa interaksi antara kondisi fisik (SDA) dengan keberadaan manusia (SDM). Dalam mengkaji ilmu Geografi dijumpai adanya objek material dan objek formal. Di mana masing-masing objek sama-sama menekankan pada gejala-gejala yang terjadi di muka bumi melalui berbagai fenomena geosfer (hidrosfer, atmosfer, biosfer, litosfer, dan antroposfer/humanosfer) dan fenomena hubungan timbal balik atau interaksi antara manusia dengan alam dalam sudut pandang kewilayahan/ kelingkungan dalam konteks keruangan

Dalam kaitannya dengan aplikasi pembelajaran yang menggunakan metode pemecahan masalah (terhadap objek geografi) diperlukan beberapa urutan tahap kegiatan sebagai berikut: (1) mengamati; (2) mengklasifikasikan; (3) mengkomunikasikan; (4) mengukur; (5) memprediksi; dan (6) menyimpulkan. Setiap hasil yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran terkait dengan hasil pemahaman dari sebuah proses pembelajaran untuk didiagnostik dan dikembangkan. Diagnostik dan pengembangan tersebut diperoleh dari kegiatan evaluasi hasil belajar siswa.

Setiap hasil pemahaman siswa selalu menunjukkan sejauh mana taraf keberhasilan guru dan belajar siswa secara tepat (valid), dapat dipercaya (reliable), dan dapat dipertanggung jawabkan (responsible). Untuk mengukur hasil belajar siswa selama ini menggunakan ukuran domain dari Bloom berupa kognitif, afektif, dan psikomotor (Gage and Berliner, 1985; Dimyati dan Mudjiono, 1994: 26-30). Namun demikian, dalam praktiknya pengukuran terhadap ketiga ranah tersebut tidak dilakukan secara komprehensif dan realistik. Pengukuran cenderung hanya dilakukan pada ranah afektif, yakni melalui tes hasil belajar dan belum pernah mengukur ranah life skill, setidaknya dalam bidang pembelajaran IPS-Geografi di sekolah.

Untuk membelajarkan dengan metode pemecahan masalah pada beberapa topik IPS-Geografi diperlukan motivasi dan keaktifan siswa dalam memahami konsep melalui rentetan peristiwa (pengalaman) pembelajaran yang diperoleh langsung di lapangan. Belajar terjadi bila perubahan dalam bentuk tingka laku para peserta didik yang dapat diamati langsung oleh guru. Dengan demikian, dalam pola pembelajaran semacam itu guru berperan sebagai pembimbing, fasilitatror, motivator, dan sekaligus evaluator secara langsung yang mengajak siswa belajar di luar kelas dan membebaskan siswa mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dalam dirinya.

Penerapan pembelajaran dengan pendekatan tersebut akan memudahkan guru dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa. Diketahui bahwa motivasi merupakan unsur penting dalam proses pembelajaran yang dipandang sebagai dorongan mental untuk mrnggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Dalam motivasi terkandung adanya keinginan, harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dan insentif. Kondisi kejiwaan semacam inilah yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan, dan mengarahkan sikap, serta perilaku belajar individu (Dimyati dan Mudjiono, 1994: 75).

Adanya dorongan mental dalam diri siswa, secara otomatis akan berimbas langsung pada perilaku fisik siswa yang ditunjukkan ketika siswa mengamati, memperhatikan, berdiskusi, memecahkan masalah, dan mengadakan perbandingan antara buku teks dengan kenyataan di lapangan sampai pada waktu membuat kesimpulan akhir. Dapat dikatakan pula bahwa kegiatan fisik dalam proses pembelajaran itu tidak berdiri sendiri atau semata-mata karena kegiatan fisik, namun juga dalam waktu bersamaan memerlukan kegiatan mental.

Dalam hal ini, pola pembelajaran problem-solving merupakan salah satu cara yang sesuai agar dapat membentuk karakter siswa yang senantiasa kritis. Pembelajaran semacam itu sangat sesuai pada materi pelajaran yang menyangkut objek lingkungan dan kehidupan sehari-hari (Gage and Berliner, 1985:4-5). Mc Crown and Roop (1989:49) menyebutnya sebagai pengalaman fisik (physical experience) bagi peserta didik, karena peserta didik dapat bertemu dengan objek belajar secara langsung. Memanfaatkan lingkungan alam dan lingkungan kehidupan di sekitarnya. Pemanfaatan lingkungan sekitar tersebut sangat diperlukan bagi suatu proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kreativitas dan kekritisan peserta didik, di samping keterampilan hidup (Gage and Berliner, 1985:8-9; Kunkel, 1975:2-3).

Seperti diketahui dalam domain pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotor) tujuan kompetensi belajar akan menjadi lebih bermakna bagi siswa jika berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Dalam domain kognitif setidaknya berada pada tingkat aplikasi atau analisis. Dalam domain afektif setidaknya pada tingkat melakukan penilaian. Khususnya dalam domain psikomotor setidaknya pada tingkat mengkomunikasikan atau bertingkalaku “aktif-kreatif” (Gage and Berliner, 1985:53-57). Hal itu akan semakin bermakna bila dikaitkan dengan sikap “peduli” terhadap lingkungan sekitarnya, yang merupakan salah satu komponen penting bagi kompetensi siswa.

Belajar berbasis pemecahan masalah yang ada sebagai proses membangun atas pemahaman terhadap berbagai fenomena pengalaman hidup, problema kehidupan, dan kondisi lingkungan sekitar peserta didik (Toffler, 1974:169; Gage and Berliner, 1985:152). Selanjutnya, dapat meningkatkan pemahaman bagi individu si belajar akan ilmu pengetahuan yang didapat dan makna hidup (Gage and Berliner, 1985:163). Selanjutnya, cenderung dapat meningkatkan kreativitas dan memory pengetahuan peserta didik (Gage and Berliner, 1985:264-267) dalam hal fakta dan fenomena kegeografian. Hal tersebut sejalan dengan konsep bahwa pembelajaran sebagaimana proses memahami berbagai fakta yang memunculkan suatu program pengajaran, sehingga tercipta lingkungan yang memberi peluang untuk berlangsungnya proses belajar yang efektif (Staton, 1978:9).

Selain hal tersebut di atas, pembelajar yang memanfaatkan berbagai permasalahan objek lingkungan/geografi yang ada di sekitar peserta didik itu bertujuan untuk membangun pola pikir siswa, sehingga dapat melakukan belajar secara bebas (tidak tertekan atau terpaksa). Dengan suasana belajar seperti itu cenderung dapat membangun kreativitas berfikir, melakukan identivikasi, serta memecahkan masalah secara humanis dan terintegrasi sesuai dengan sikon yang diketemukan di lapangan (Toffler, 1974:162; Ullich, 1971:2).

Berdasarkan atas uraian di atas, pembelajaran dengan menggunakan metode pemecahan masalah yang dimaksud dalam riset ini adalah pembelajaran yang di lakukan terhadap objek permasalahan geografi sesungguhnya yang ada di sekitar sekolah/tempat tinggal siswa yang dilakukan dengan jalan sebagai berikut: (1) Observasi dan atau wawancara dengan objek geografi secara langsung di lapangan. Siswa melakukan pengamatan terhadap berbagai objek Geografi sesungguhnya secara perorangan/kelompok (satu kelompok sebaiknya maksimal 3 orang); (2) Melakukan pengumpulan data, siswa melakukan pengumpulan data tentang objek pelajaran Geografi langsung di lapangan; (3) Pembuatan laporan, siswa melakukan pembuatan laporan dari berbagai hasil pengamatan/wawancara dan pengumpulan data yang telah dilakukannya. Format laporan dirancang oleh guru agar hasilnya tidak menyimpang terhadap tujuan pembelajaran yang semula direncanakan; (4) Presentasi hasil laporan yang ditulis dan didiskusikan di dalam kelas dan dibimbing guru (hal ini sebagai upaya follow up pada pembelajaran ini).

C. PENUTUP

1. Hasil Riset Sebagai Pembanding

Hasil riset yang dilakukan Fatchan, et-all (2004) menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran IPS-Geografi di SD yang berbasis proyek dapat meningkatkan kemampuan, aktivitas, dan kreativitas mahasiswa secara signifikan. Lebih lanjut, mahasiswa juga dapat mempraktikkan secara optimal terhadap keterampilan mengajar dengan menggunakan alat peraga geografi. Penggunaan alat peraga yang dipadukan dengan keterampilan menjelaskan oleh mahasiswa ketika praktik mengajar mengakibatkan mahasiswa semakin percaya diri dalam mengajar. Selanjutnya, penyampaian pembelajarannya dapat dilakukan secara sistematis, sehingga mudah dipahami peserta didik.

Temuan lainnya menunjukkan bahwa peserta didik yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan/ menerapkan pembelajaran berbasis proyek memberi pengaruh terhadap aktivitas, kreativitas, keberanian siswa dalam menyampaikan pendapat. Hal itu karena ditunjang oleh adanya alat peraga yang disajikan oleh guru cukup menarik. Alat peraga pembelajaran tersebut berupa model dari salah satu objek materi geografi yang cocok dan dapat dijelaskan dengan menarik oleh calon guru (Purwito; Marhadi; dan Sukamto, 2005: 109).

Namun demikian, dijumpai adanya titik lemah dengan menggunakan/menerapkan pola pembelajaran ini. Kelemahan itu antara lain peserta didik agak mengalami kesulitan mengelaborasi objek materi geografi. Hal itu karena peraga yang digunakan merupakan model (objek tiruan) dan bukan objek sesungguhnya. Untuk itu, riset yang akan dilakukan di sini mencoba menyempurnakannya dengan menggunakan/ melakukan pengamatan terhadap objek sesungguhnya. Pengamatan terhadap objek sesungguhnya itu antara lain dapat dengan menggunakan pola pembelajaran outdoor study.

Hasil penelitian Cross (1996) menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kepercayaan diri dan kemampuan belajar masing-masing peserta didik mempengaruhi kesulitan dalam mampelajari hal-hal baru. Cross menyebutkan pula bahwa hal-hal yang berkaitan dengan upaya peningkatan partisispasi ada enam komponen yang dapat dirangkai dalam konsep COR (chain of response) yakni menaikkan tingkat kepercayaan, membangun sikap, mempertemukan sasaran dengan harapan dari si belajar, tanggapan terhadap masa peralihan, kesempatan berkreasi dan menghilangkan berbagai gangguan yang ada, dan penyediaan informasi.

Untuk membangun sikap peserta didik diperlukan mengembangkan pribadi dan sikap, di samping sikap dan pandangan masyarakat tentang pendidikan. Terkait dengan hal ini Cross (1983) dan Robenson (1977) berdasarkan hasil penelitiannya di Iowa dan California mencatat bahwa penghargaan terhadap hasil pembelajaran, menciptakan lingkungan yang mendukung, orientasi faktor sosiobudaya dan geografi, dan keberadaan kondisi kependudukan dapat mendatangkan sikap yang positif bagi si belajar. Untuk itu, model pembelajaran yang dilakukan harus terkait dengan keterampilan hidup (life skill) bagi para peserta didik.

Untuk membangun sikap yang positif bagi suatu pendidikan/pelatihan diperlukan: dukungan dan partisipasi masyarakat, menghargai kepentingan peserta, informasi tentang kesempatan kerja, dan pelayanan yang komunikatif serta efektif. Untuk itu diperlukan: desain berdasar tujuan yang diinginkan, desain berdasarkan kepentingan masyarakat dan si belajar, revisi dan remidial guna perbaikan pelaksaan pembelajaran yang lebih baik (Howl, 1961; Cross, 1996). Selanjutnya diperlukan pula adanya evaluasi, penghargaan kepada si belajar, dan dukungan serta partisipasi dari masyarakat di sekitarnya.

Fatchan, et-all (2004), berdasarkan hasil riset kerjasama dengan Plan Internasional Indonesia, mencatat bahwa pembelajaran di tingkat sekolah dasar yang menggunakan pendekatan pembelajaran berdasarkan konteks kondisi lingkungan dan penyertaan orang tua siswa dalam membantu proses belajar menjadikan keajegan belajar di sekolah lebih baik, hasil belajar cenderung lebih baik, aktivitas siswa semakin meningkat, kepedulian siswa dan orang tua tentang pembelajaran dan pendidikan anak juga semakin baik. Khususnya di daerah/ desa peternakan sapi, anak menjadi lebih memahami arti dari usaha peternakan, bagaimana mereka harus ikut memelihara kebersihan kandang dan ternak (life skill anak meningkat), anak tidak dibebani pekerjaan lebih berat dalam memelihara ternak. Misalnya, sebelumnya anak harus mencari rumput walaupun pada waktu pagi hari (khususnya ketika musim tanam atau musim panen tiba), sehingga anak sering tidak masuk sekolah, namun sekarang anak hanya ditugasi mencari rumput pada sore hari. Selanjutnya, juga melahirkan kesadaran orang tua siswa bahwa kandang sapi akan dipindahkan ke bagian belakang rumah. Sebelumnya setiap kandang sapi selalu diletakkan di depan rumah/ di samping ruang tamu.

Temuan Gaer (1998) dalam Fatchan (2004) disebutkan bahwa pembelajaran berbasis proyek senantiasa harus merupakan penerapan pola pembelajaran kontekstual, Dalam aplikasi pembelajaran berbasis proyek ini si belajar cenderung menjadi lebih aktif dan kreatif. Sementara guru atau instruktur berposisi di belakang (sebagai fasilitator) pembelajaran dan si belajar menjadi cenderung lebih berinisiatif, guru lebih mudah dalam mengevaluasi kebermaknaan hasil belajar, dan evaluasi dapat dilakukan secara realistis yang terkait dengan kehidupan sehari-hari si belajar. Selanjutnya, hal itu diperjelas oleh temuan Purwito; Marhadi; dan Sukamto (2005) bahwa hasil pembelajaran yang dilakukan pada mahasiswa Geografi yang menggunakan model pendekatan berbasis proyek dapat menciptakan pola pembelajaran yang bersifat kolaboratif, inovatif, unik, dan berfokus pada pemecahan masalah yang berkaitan dengan kebutuhan dan atau kehidupan sehari-hari para peserta didik.

Namun demikian, pola pembelajaran ini mempunyai kelemahan antara lain bahwa pola pembelajaran semacam itu membutuhkan waktu yang relatif lebih panjang atau lebih lama, tugas atau pekerjaan yang diberikan terkadang kurang pas dengan konteks kehidupan si belajar. Hal ini karena, kurang mampunya peserta didik dalam upaya mengeksplorasi hasil belajar yang mereka kerjakan. Hal ini dipertegas dengan temuan Basmajian (1978) dalam Lawson (1992) yang mencatat para mahasiswa akan mempunyai penalaran formal pada perkuliahan biologi bila perkuliahan dilakukan melalui media audio­ dan tutorial. Mahasiswa yang mempunyai penalaran formal umumnya dapat lebih manguasai materi perkuliahan daripada mahasiswa yang mempunyai penalaran konkrit. Selanjutnya, demikian halnya pada para mahasiswa yang mempunyai keterampilan praktik laboratorium atau praktik di lapangan akan lebih mampu berpikir kritis.

Berdasar temuan tersebut, maka kelemahan pola pembelajaran semacam itu kebanyakan disebabkan bahwa para siswa selama ini terbiasa dengan pembelajaran secara klasikal (di kelas) dan belum pernah konteks dengan objek sesungguhnya. Beberapa kelemahan tersebut akan dicoba diatasi menggunakan pembelajaran kontekstual dengan pola outdoor study yang dirancang secara konprehensif dan akurat serta dalam konteks lingkungan dan atau kejadian (permasalahan) yang sesungguhnya (yang sedang/pernah dialami peserta didik di sekitar tempat tinggal/sekolah peserta didik), yang dirancang dalam riset ini.

Lawson (1992) dalam suatu risetnya dapat membuktikan bahwa keterampilan penalaran merupakan prediktor yang paling konsisten terhadap prestasi belajar dibanding variable lainnya seperti gaya (style), kognitif, kapasitas mental, fluid intelegence. Ia juga mencatat bahwa perkuliahan biologi umum, khususnya terkait dengan keterampilan pemecahan masalah genetik, para mahasiswa yang mempunyai penalaran formal lebih berhasil secara signifikan dibanding mereka yang mempunyai penalaran transisi. Para mahasiswa yang mempunyai penalaran transisi juga lebih berhasil dibandingkan dengan yang mempunyai penalaran kongkrit. Greene (1990) dalam Susilo (2001) menemukan bahwa kesulitan mahasiswa untuk memahami seleksi alam terutama disebabkan oleh karena kesalahan (error) penalaran. Begitu juga temuan Lawson (1992) menunjukkan bahwa mahasiswa yang miskin penalaran lebih banyak menganut kepercayaan yang tidak ilmiah dalam kreativitasnya.

Seperti diketahui bahwa pembelajaran melalui pendekatan pemasalahan juga melibatkan siswa pada olah penalaran. Dampak pembelajaran semacam itu sejalan dengan temuan yang dicatat oleb Crow (1989): bahwa pemikiran kritis dapat dikembangkan melalui aktivitas yang berupa semacam pengujian pertanyaan ataupun pendekatan inkuiri.

2. Saran

Makalah ini tentunya jauh dari sempurna. Namun setidaknya walaupun makalah ini berisi lebih pada telaah teoritis, penulis berharap makalah ini mampu berperan sebagai langkah awal yang mampu memancing minat para peneliti di bidang pendidikan, terkait dengan pentingnya penelitian-penelitian mutakhir dalam lapangan pendidikan kita –tentunya konsep awal dari makalah ini akan menemukan validitasnya dengan beberapa penelitian lapangan yang telah banyak diprakarsai sebagaimana riset-riset di atas.

Pembelajaran kontekstual berbasis pemecahan masalahan belum banyak diterapkan dalam dunia pendidikan kita. Mengingat betapa pentingnya menggiring peserta didik pada kemandirian, dan menvisikan peserta didik pada kondisi-kondisi baru yang mesti mereka hadapi, pembelajaran kontekstual berbasis pemecahan masalah ini patut dipertimbangkan. Banyak mata pelajaran yang bisa diisi setidaknya dengan variasi model pembelajaran kontekstual berbasis masalah ini.

Ketidaksiapan sekolah dan guru dalam sarana prasarananya, bisa disiasati dengan mengoptimalkan pada sarana yang ada. Dalam kasus pembelajaan kontekstual berbasis pemecahan masalah ini, guru hanya dituntut mampu menggiring peserta didik pada masalah keseharian yang dapat ditemukan dalam kehidupan keseharian mereka. Mencoba membuka cakrawala pengetahuan mereka dan memecahkan problem yang mereka hadapi dengan pola pikir mereka.

Sekian, Terimakasih.

Mustatho’

Pendidik di Madrasah Diniyah Pon-Pes Al-Musthafa, Prambontergayang, RT. 02/11, Soko, Tuban

No telp. 0815 7878 5376

Blog.http//.mustathok.blogspot.com

Email.tatok.m@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin, Achmad; Ach. Fatchan; Budijanto, 2006, Pengembangan Model Pendidikan Keterampilan Hidup (Life Skill) bagi Anjal dengan Menggunakan Chain of Response, Dirjen Dikti, DP2M, Jakarta – Lemlit UM-Malang, Malang

Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kompetensi Dasar)Pelajaran Biologi Untuk SLTP Buram ke-7. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Bruce, D. M. 1996. The Quiet In Science Education-Teaching Science The Way Studenta Learn. Journal of College Science Teaching, XXV (3): 169 -171.

Corebima, A. D., 2000. Pemberdayaan Penalaran Pada PBM IPA-Biologi SMP Untuk Menunjang Perkembangan Pena/aran Formal Mahasiswa di Jenjang Perguruan Tingg; Laporan Penelitian Tindakan Kelas Tahun Anggaran 1999/2000. Malang: Lemht UM Malang.

Cotton, Kathleen, 1990, Educating Urban Minority Youth: Research on Effective Practice, dalam School Improvement Research Series, pp1-36.

Cotton, Kathleen, 1991, School-Community Collaboration to Improve the Quality of Life for Urban Youth and Their Families, dalam School Improvement Research Series, pp 1-28.

Cross, K Patricia, 1996, Adult as Learning: Implications for Increasing Participations, Edisi Kedua, Jossey Bass Publisher, San Fransisco.

Crawford, Michael. 2001. Contextual Teaching and Learning: Strategy for Creative Constructivist Classroom. Connection (Online) 11 No.6. Hyperlink. http://www.cord.org diakses 27 April 2002.

Crow. I. W. 1989. The Nature of Critical Thinking. Journal of College Science Teaching. November: 114 - 116.

Dikmen. 2002a. Konsep Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education) Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based Education). Buku 1. Jakarta: Dirjendikdesmen, Depdiknas.

Dimyati dan Mudjiono, 1994, Belajar dan Pembelajaran, Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti, Jakarta.

Fatchan, Ach, 1997, Pendekatan Andragogik Untuk Training Calon Instruktur Guru Geografi di SMA, PPPG IPS-PMPKn Malang, Malang.

Fatchan, Ach, et-all, 2004, Evaluasi Transformasi Pendidikan Dasar Di Lombok Timur, Lemlit UM – Plan Internasional Indonesia, Malang, Surabaya.

Purwito, Hendri; Marhadi, SK; Hadi Sukamto, 2005, Penerapan Pembelajaran Berbasis Proyek Bagi Mahasiswa Jurusan Geografi UM-Malang, Dirjen Dikti, DP2M, Jakarta – Lemlit UM-Malang, Malang.

Gage, N.L and David C. Berliner, 1985, Educational Psychology, Gulf Publising Company, New York.

Herdri Purwito dan Mustofa, 2005, Penerapan Pembelajaran Geografi dengan Metode Tematik Bagi Mahasiswa Jurusan Geografi UM-Malang, Dirjen Dikti, DP2M, Jakarta – Lemlit UM-Malang, Malang.

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. Thousand Oaks, California: Corwin Press, Inc. A Soge Publications Company.

Kunkel, John H, 1975, Behavior, Social Problems, and Change: A Social Learning Approach, Prentice Hall, Inc, New York.

Lawson, Anton, E. 1992. Development of Reasoning Among College Biology Student.\'- A Review of Research. JCST: Vol. XX1 (6) May: 338 - 344.

Novak, 1. D. daTI Gowin, D. Bab. 1985. Learning How To Learn. Cambridge: University Press.

Nurhadi, M. 2002-a. Pengajaran Berpusat pada Siswa don Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Versi Transportasi. Surabaya: Centre of School Science and Mathematics Postgraduate Program of State University of Surabaya.

Nurhadi, M. 2002-b. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning).Malang: Universitas Negeri Malang.

IPPSJ Pendidikan Geografi. 2005/2006. Portfolio Program Studi (Laporan Evaluasi Diri Sebagai Bahan Akreditasi Program Studi)o Malang: PPS UM MALANG.

Plan Internasional Indonesia, 2003, Transformasi Pendidikan Anak SD, Plan Internasional Indonesia, Surabaya.

Rostana, E. Cecep. 2002. Pembelajaran don Pengajaran Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar daTI Menengah Direktorat Sekolah Lanjutan Pertama.

Setjo, Susetyoadi. 2003. Belajar Mengajar Kontekstual: Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup. Makalah disampaikan dalam Workshop Piloting di Universitas Negeri Malang, 23 - 25 Januari 2003.

Susilo, H. 1999. Peta Konsep: Alat Pembelajaran yang renting untuk Pembelajaran Sains dengan Filosofi Konstruktivisme: Materi Bacaan Mata Kuliah: Dasar-dasar Pendidikan. MIPA, 28 -41.

Susilo, H. 2001. Pembelajaran Kontekstual Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa. Makalah disampaiakan pada Seminar Pembelajaran Dengan Filosofi Konstruktivisme, Jombang, 22 September.

Staton, F.T, 1978, Cara Mengajar dengan Hasil yang Baik, alih bahasa JF. Tahalele, Diponegoro, Bandung.

Thiagarajan, S., Semmel, D. S., Semmel, M. L. 1974. Intructional Development for Training Teacher of Exceptional Children. Minnesota: Indiana University.

Toffler, Alvine, (Editor), 1974, Learning for Tomorrow, Vintage Book, New York, Unitade State of America.

Ullich, Robert, 1971, Phylosophy of Education, American Book Company, New York, Unitade State of America.

University of Washington (College of Education). 200 I. Training for Indonesia Educational Team In Contextual Teaching and Learning. Seatle, Washington, USA.

Woods, D. R. 1996. Teaching and Learning: What can Research Tell Us?; Journal of College Science Teaching. XXV (3): 229 - 232.

Worthen, R. Blaine and James R. Sanders, 1983, Educational Evaluation: Teory and Practice, Wadsworth Publishing Co,Ltd, Belmont – California.

Yager, R. E. dan Huang, Dar Sun. 1994. An Alternative Approach to College Science Education for Nonscience Majors. Journal of College Science Teaching. November: 98 - 100.

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL


Abstract

Masyarakat yang sehat dan demokratis adalah masyarakat yang hidup dalam pluralitas namun mampu menghormati dan memperlakukan identitas budaya lain seperti identitasnya sendiri, menjamin hak-haknya serta memenuhi segala kelayakan sebagai entitas yang sama yang bisa maju bersama mewujudkan budaya toleran dalam hidup bebangsa dan bernegara.

Multikulturalisme dalam prakteknya adalah pemberian kebebasan untuk menjalankan dan memenuhi segala keuikan masing-masing budaya yang ada. Terjamin secara legal oleh Undang-undang dan secara moral-cultural diakui oleh masyarakat. Tanpa adanya toleransi dan keterjaminan berekspresi, niscaya tidak akan ada multikulturalisme dalam praktek kemasyarakatan secara kongkret.

Dalam bingkai pembelajaran dan pendidikan, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara demokratis, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi ini. Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat, bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat di antara mereka dan menjunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.

Pembelajaran berbasis multikultural didasarkan pada gagasan filosofis tentang kebebasan, keadilan, kesederajatan dan perlindungan terhadap hak-hak manusia. Hakekat pendidikan multikultural mempersiapkan seluruh siswa untuk bekerja secara aktif menuju kesamaan struktur dalam organisasi dan lembaga sekolah. Pendidikan multikultural bukanlah kebijakan yang mengarah pada pelembagaan pendidikan dan pengajaran inklusif dan pengajaran oleh propaganda pluralisme lewat kurikulum yang berperan bagi kompetisi budaya individual.

Makalah ini menghadirkan pembahasan tentang subtansi agama sebagai penopang pendidikan multikulturalisme. Kalau selama ini agama dianggap membatasi masalah ansich dan ekslusif pada masalah internal (agama Islam) saja, maka pada dasarnya, yang ada pada diri agama Islam sebenarnya tidaklah demikian. Agama Islam mengatur lebih dari sekedar rutinitas ritual, agama Islam mewajibkan seluruh umatnya untuk senantiasa menjaga hubungan harmonis dengan seluruh alam, terlebih hubungan horizontal dengan sesama manusia. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimanakah mewujudkan kesadaran multicultural ini? Makalah ini menyuguhkan jawabannya.

Kata Kunci; Multikultural, Multikulturalisme, Pendidikan Multikultural

*Mustatho’, Guru PAI SMK al-Mustawa dan Paket B, Pon-Pes Al-Musthofa,

Prambontergayang Rt.02/11 Soko Tuban 62372.

Alamat, Pon-Pes Al-Musthofa, Prambontergayang Rt.02/11 Soko Tuban 62372.

Telp. 0815-7878-5376.

I. PENDAHULUAN

Terma multikulturalisme adalah gabungan dari tiga kata sekaligus, yakni multy (banyak), cultur (budaya), isme (aliran/paham). Multikulturalisme secara singkat, adalah sebuah paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya. Artinya, tidak ada pembedaan stereotype antara kebudayaan suku "primitif" dan peradaban masyarakat industri modern. Keduanya memiliki kesetaraan nilai, dan peran yang dalam mengabdikan kekhususan peran sosial-historis masing-masing[1].

Sebagai sebuah ide, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur sosial masyarakat yang tercakup dalam kehidupan sosial, kehidupan ekonomi dan bisnis, kehidupan politik, dan berbagai kegiatan lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan. Multikulturalisme juga, mau tidak mau harus menjelaskan hak persamaan dalam berbagai permasalahan masyarakat, melingkupi politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum (law enforcement) kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, dan tingkat serta mutu produktivitas.

Multikulturalisme dalam praktek merupakan suatu strategi dari integrasi sosial di mana keanekaragaman budaya benar-benar diakui dan dihormati, sehingga dapat difungsikan secara efektif dalam menengarai setiap isu separatisme dan disintegrasi sosial. Pengalaman mengajarkan, bukan semangat kemanunggalan atau ketunggalan (tunggal ika) yang paling potensial yang bisa melahirkan persatuan kuat, tetapi justru pengakuan tehadap adanya pluralitas (kebhinnekaan) budaya bangsa inilah yang lebih menjamin persatuan bangsa menuju pembaruan sosial yang demokratis.[2]

Dalam masyarakat plural, seperti di Indonesia multikulturalisme adalah hal niscaya yang harus melekat sebagai sebuah paham dalam diri masing-masing comunitas, -paham keberagaman dalam kesatuan ini akan mengeleminasi segala konflik. Pengalaman konflik yang cukup frekuwentif yang terjadi pada beberapa tempat[3] dapat dijadikan tolok ukur bahwa negeri ini masih merangkak dalam memahami subtansi multikulturalisme.

Pengembangan faham multikultural dalam masyarakat tidak akan pernah terbentuk dengan sendirinya. Dibutuhkan proses yang panjang dan sistematis. Paham multikultural sebagai entitas yang paling asasi dalam membentuk hubungan harmonis kemasyarakatan ini harus tertanam semenjak dini, dan salah satu lembaga yang tepat untuk menanamkan dan mengembangkannya adalah lembaga sekolah, melalui kurikulum pendidikan yang akomodatif terhadap kepentingan ini. Dalam konteks ini, tentu saja pengajaran agama Islam yang diajarkan di sekolah-sekolah harus memuat kurikulum berbasis keanekaragaman (multikultur). Pendidikan agama Islam diberikan kepada siswa tidak dalam bentuk kurikulum yang tunggal, melainkan kurikulum pendidikan yang dapat menunjang proses siswa menjadi manusia yang demokratis, pluralis dan menekankan penghayatan hidup serta refleksi untuk menjadi manusia yang utuh. Kurikulumnya bisa meliputi beberapa subjek pelajaran, seperi toleransi, Aqidah Inklusif, Fiqih Muqarran dan perbandingan agama serta tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama

Dengan cara ini, kurikulum PAI dapat menampilkan wajah Islam yang toleran, menyejukkan dan mengayomi semua masyarakatnya, juga masyarakat sekitarnya. Sehingga tepat kiranya menyebut istilah kurikulum dengan makna dasarnya, yaitu "construct", yang berfungsi untuk membangun dan mengalihkan nilai positif kepada generasi berikutnya. Kurikulum yang toleran akan sangat membantu kepada paham inklusif siswa, berbuat ramah kepada sesamanya dan golongan lain. Tentunya jika kurikulumnya memang mengandung unsur yang demikian. Posisi kurikulum semacam inilah yang mampu membangun kehidupan masa depan lebih damai dan tercerahkan. Hanya dengan base on curriculum semacam ini yang memungkinkan untuk mengajarkan PAI sesuai dengan prinsip –prinsip ajaran Islam yang humanis, demokratis dan berkeadilan kepada peserta didik. Sebuah prinsip-prinsip ajaran Islam yang sangat relevan untuk memasuki masa depan dunia yang ditandai dengan adanya keanekaragaman budaya dan agama.

II. SEJARAH AWAL PEMIKIRAN MULTIKULTURAL DI INDONESIA

Pada fase awal, Indonesia telah mengenal fondasi awal multikulturalisme dari pemikiran beberapa tokohnya. Seperti prinsip egalitarian yang muncul pertama kali melalui tulisan Abdul Rivai pada tahun 1902 dalam karyanya Bangsawan Pikiran, ia memperkenalkan istilah bangsawan pikiran sebagai pengganti dari bangswasan asal. Dengan memperkenalkan istilah bangsawan pikiran untuk menggeser bangsawan asal, kalangan inteligensia modern ingin mendobrak konstruksi sosial yang timpang dan previledge status keningratan bangsawan asal di atas kelompok lain, untuk digantikan dengan bangsawan fikiran yang mengutamakan prestasi dan kesetaraan.[4]

Mulai dari sinilah imaji keindonesiaan dibangun di atas fondasi kesetaraan dari tiap-tiap orang yang memperjuangkannya, dimana penghargaan terhadap tiap-tiap orang diberikan atas dasar pencapaian prestasi dan komitmen kepada rakyat bukan atas dasar status keningratan maupun perbedaan etnis ataupun dominasi agama tertentu. Perubahan mentalitas dari pengagungan pada bangsawan asal menuju bangsawan pikiran membawa kalangan intelegensia modern Indonesia pada orientasi cita-cita kemadjoean.

Fenomena ini adalah perubahan revolusioner sebagai batu pijakan awal untuk membangun masyarakat terbuka, setara dan pluralistik. Semenjak saat itulah pergerakan nasional moderen dimulai pertama-tama sebagai upaya menghancurkan sekat-sekat hierarkhi masyarakat tribus yang menempatkan perbedaan asal-asul keturunan dan tatanan aristokrasi dalam posisi adiluhung. Respek terhadap keragaman atas dasar penghargaan terhadap nilai kesetaraan menjadi langkah awal membangun model nasionalisme inklusif dan berkeadaban sekaligus membongkar sekat-sekat ketimpangan social diantara kelompok-kelompok sosial di masyarakat.

Perjuangan mewujudkan karakter kebangsaan yang bercirikan inklusif-egalitarian ini menapak lebih jauh seiring dengan kemerdekaan Republik Indonesia. Lepasnya bangsa Indonesia dari rantai penjajahan diikuti dengan semangat kolektif bangsa untuk menghapuskan segala diskriminasi sosial yang diciptakan oleh formasi kolonialisme. Pada saat itu suatu simbol revolusioner baru yang mengandung semangat kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan muncul dalam istilah panggilan bung yang diperkenalkan oleh Soekarno. Kata sapaan bung yang berarti saudara dapat dibandingkan dengan kata citizen (rakyat) atau kamerad (kawan) dalam bahasa Rusia. Sebutan bung bagi kaum muda adalah bentuk sapaan egaliter karena tidak membedakan hierarkhi strata sosial. Kandungan makna yang muncul didalamnya--sesuai dengan konteks gelombang pasang api revolusi di Indonesia paska kemerdekaan--dapat diartikan sebagai “saudara revolusioner” atau “saudara nasionalis Indonesia”. Dalam istilah tersebut segenap strata sosial kaya, miskin, tua, muda dipersatukan dalam solidaritas sosial dan kesetaraan status bersama sebagai bangsa Indonesia.[5]

Titik kulminasi dari perjuangan kaum intelegensia nasional Indonesia untuk membangun fondamen bagi karakter bangsa kemudian tercapai dengan terumuskan nilai-nilai esensial kenegaraan Pancasila. Sejak awal perumusannya kalangan intelegensia dan pemimpin Indonesia seperti Bung Karno telah merumuskan Pancasila sebagai bentuk kesepakatandiantara kekuatan-kekuatan politik yang ada untuk membangun konsensus bersama diantara setiap identitas-identitas kebangsaan. Apabila mencermati momen sejarah di masa lalu, dapat dikatakan bahwa penghapusan tujuh kata yang tertera didalam Piagam Jakarta (menjalankan syariah Islam bagi pemeluk-pemeluknya) tidak dapat dikatakan sebagai kekalahan politik ummat Islam yang harus dibalas ketika waktunya tiba. Hal tersebut merupakan bentuk kebesaran hati dan ketajaman visi dari kalangan founding father kita untuk membangun sebuah cita-cita kebangsaan yang inklusif dan menjadikan Indonesia sebagai rumah kebangsaan bagi seluruh warganya tanpa terkecuali.

Prinsip kebangsaan Inklusif ini sejalan dengan yang diutarakan oleh Sukarno dalam pidatonya tentang Pancasila pada tanggal 1 Juni 1945, bahwa kebangsaan Indonesia bukanlah kebangsaan yang sempit. Negara yang hendak didirikan adalah negara “semua untuk satu”, “satu untuk semua” artinya semua orang berhak atas tanah air Indonesia. Indonesia yang dibangun haruslah berbasis pada suatu landasan bersama bagi berbagai aliran yang terdapat di kalangan rakyat.[6]

Menurut Nurcholish Madjid, Pancasila dapat disejajarkan dengan Sahifatul Madinah (sebagai bentuk eksperimentasi awal dalam pembentukan fondasi modern nation-state) sebagai sebuah piagam kontrak sosial bersama yang dibuat oleh Rasulullah SAW di Madinah yang mengatur bagaimana hubungan antara kaum muslim dan non-muslim untuk hidup bersama sebagai ummatan wahidah (ummat yang satu) dengan saling menghormati satu sama lain, dan menghargai “the other” (yang lain), bukan untuk dieksklusikan dalam kehidupan sosial bermasyarakat namun untuk hidup di atas basis kesetaraan, penghargaan terhadap aturan hukum ditengah kemajemukan sosial.

Soekarno, presiden RI pertama ini sering berucap tentang urgensi sejarah bagi sebuah kebesaran bangsa[7]. Masa lalulah yang dapat menjadi mutiara terpendam yang mampu menyegarkan langkah kita saat ini. Ketika kita memahami bahwa sejak awalnya negeri ini dibangun di atas nilai-nilai prinsipal yang menghormati keragaman, membela hak-hak sipil tiap warga negara dan memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial bagi semua, maka di masa depan memori tersebut menjadi lentera bagi kita untuk berdiri tegar menghadapi ancaman fanatisme golongan dan manipulasi demokrasi untuk kepentingan tirani yang mengklaim legitimasi suara mayoritas.

Pemahaman kritis terhadap karakter nasionalisme Indonesia yang sejak awal memiliki kesadaran yang terbuka dan egaliter (civic nationalism) dapat mencerahkan jalan kita untuk berkomunikasi dengan nilai-nilai moralitas internasional seperti pluralisme, demokrasi, hak asasi manusia, karena pada dasarnya komitmen awal kita untuk hidup berbangsa berjalan seiring dengan dinamika nilai-nilai universal kemanusiaan tersebut. Penelaahan reflektif terhadap akar-akar kebangsaan kita di masa lalu membuat kita tidak akan mengalami hambatan psikologis untuk merealisasikan nilai-nilai keadaban (civic virtue) dari bangunan modern nation-state saat ini.

Kesadaran inklusif bahwa setiap warga negara memiliki posisi setara adalah hal fundamental untuk pemenuhan terhadap agenda demokrasi konstitusional. Sebuah bangunan politik demokrasi dimana didalamnya tindakan politik ditujukan untuk menghadirkan keadilan sosial untuk semua.[8] Didalam bangunan politik yang memperjuangkan keadilan, tiap warga negara berperan sebagai agensi politik dalam penentuan berbagai permasalahan komunitas mereka.

III. MULTIKULTURALISME DALAM PANDANGAN AGAMA ISLAM

Multikulturalisme[9] yang bermakna penghargaan dan pengakuan terhadap budaya lain, secara normatif dapat dibenarkan keberadaannya. Multikulturalisme dalam Islam dapat dirujukkan minimal dari tiga kategori, yakni petama prespektif teologis, kedua prespektif historis dan ketiga prespektif sosiologis.

Multikultural dalam prespektif teologis Islam dapat ditemukan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an. Sebagaimana kita ketahui bahwa kemajemukan yang ada di dunia ini adalah sebuah kenyataan yang sudah menjadi sunnatullah (ketentuan Allah). Di dalam al-Qur’an surat al-Hujarat ayat 13 Allah menyebutnya bahwa kemajemukan adalah kehendakknya, sebagai arti ayat ini “Wahai manusia, sungguh telah Allah ciptakan kalian dari seorang lelaki dan perempuan, dan menjadikan kalian dari berbagai bangsa dan suku agar kalian saling mengenal….”[10] Abdullah Yusuf Ali dalam buku tafsirnya The Holy Qur’an: Translate and Commentary memberikan komentar bahwa ayat ini tidaklah ditujukan untuk persaudaraan muslim saja, tetapi kepada seluruh umat manusia, karena hakekat keduanya sama.

Dari ayat 13 surat al-Hujurat di atas, sangat tegas bahwa Islam pada dasarnya menganggap sama pada setiap manusia, yakni tercipta dan dilahirkan dari sepasang orang tua mereka (laki-laki dan perempuan), kemudian keterlahiran ini sendiri mempunyai tujuan untuk saling mengenal dan memahami karakter masing-masing kelompok seatelah manusia ini menjadi kelompok yang berbeda.

Dalam surat lain, Q.S. al-Rum ayat 22 Allah berfirman yang artinya “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui”.[11] Ayat ini menerangkan bahwa perbedaan warna kulit, bahasa, dan budaya harus diterima sebagai sesuatu yang positif dan merupakan tanda-tanda dari kebesaran Allah swt. Untuk itu sikap yang diperlukan bagi seorang muslim dalam merepon kemajemukan dan perbedaan adalah dengan memandangnya secara positif dan optimis, bahwa kemajemukan yang ada justru akan memperkokoh dan memperindah sisi kemanusiaan. Dengannya seorang muslim akan mampu bertindak dengan bijak dan selalu termotivasi untuk berbuat baik.[12]

Secara semiotik, ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang toleransi juga merupakan fondasi umat Islam dalam menatap keberagaman, baik kultur, ras, etnik ataupun agama. Q. S. al-Kafirun ayat 5 yang artinya “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”[13]. Surat berisi tentang prinsip untuk saling menghargai antar pemeluk agama. Mengingat tingginya arti toleransi ini, al-Qur’an justru memfasilitasi, bukannya mengebiri terhadap keberadaan orang yang beragama lain. Toleransi sendiri adalah nilai yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Terlebih di Indonesia, yang memiliki komposisi masyarakat yang sangat heterogen, terdiri dari berbagai suku, agama dan ras yang berbeda.

Multikulturalisme prespektif historis dalam Islam, dapat dirujuk langsung oleh sistem kenegaraan yang diterapkan Nabi Muhammad saw dengan Piagam Madinahnya. Piagam Madinah ini adalah konsesi atas Hijrah Nabi Muhammad saw pada tahun 622 Masehi yang menemukan kondisi sosiologis Madinah berbeda dengan di Makkah. Sebelum hijrah, Nabi memulainya dengan membuat Perjanjian Aqabah (bai’at al-‘aqabah). Baiat adalah transaksi, seperti jual beli. Artinya, dalam perjanjian ada transaksi seperti jual dagang, berkompromi sampai pada yang disepakati. Kalau model baiat sekarang dipaksakan oleh guru dan secara membabi buta. Dahulu baiat didasarkan pada konsensus dan bargaining untuk saling mendapatkan. Dalam Perjanjian Aqabah pada tahun 621 M disebutkan bahwa orang-orang Madinah akan bersedia menerima Nabi dan sahabatnya untuk berhijrah ke Madinah dengan jaminan Nabi bisa dipercaya menjadi rekonsiliator untuk menegakkan konflik kesukuan (tribal) yang tidak ada habisnya.

Karena semua menjadi bagian dari konflik, maka tidak ada yang memiliki otoritas untuk menyelesaikan. Seperti halnya yang terjadi di Papua, antar suku sudah menjadi bagian konflik, tidak ada yang bisa menyelesaikan. Dalam perspektif antropologi perlu adanya outsider essential yang akan menyelesaikan konflik-konflik itu. Dan kabilah-kabilah di Madinah menerima Nabi tetapi dengan jaminan Nabi harus memerankan diri sebagai hakim yang adil dan bisa menengahi konflik antar suku karena mereka juga lelah.

Orang-orang yang terikat dalam perjanjian tersebut disebut sebagai ”umat”. Umat adalah siapapun yang ikut dalam semua kesepakatan atau perjanjian Piagam Madinah, termasuk di dalamnya adalah Nabi. Siapapun yang diserang akan dibela dan siapapun yang berkhianat akan diserang. Karena itu, pada zaman Nabi tidak ada yang menyerang kecuali dia berkhianat. Piagam Madinah disusun dalam posisi yang sama, hidup, kehormatan dan kehendak mencapai kebahagiaan menjadi jaminan dalam piagam tersebut.[14]

Prespektif ketiga adalah prespektif sosiologis intern umat Islam sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam praktek keberagamaan umat Islam di seantero dunia Islam. Secara internal umat Islam memeliki keanekaragaman madzhab fiqih, tasawuf dan kalam. Dalam bidang fiqih umat Islam Indonesia mengenal adanya madzhab lima, dari Imam Syafii dengan qaul jadid dan qadimnya, Imam Hanafi, Hambali, Abu Hanifah dan Imam Ja’far. Begitu juga dalam ilmu kalam, Imam al-Asy’ari, dan Maturidy disebut sebagai penggagas Ahlussunnah (Sunni), Wasil bin Atho’ dengan mu’tazilahnya, khawarij, murjiah juga ada Syi’ah dan para pendukung Imam Ali dibelakangnya.

Kemajemukan intern umat Islam juga ditemukan dalam praktek pengelompokan sosial, politik kepartaian serta model pendidikannya. Dinasti dan kekhalifahan yang pernah ada dalam sejarah Islam seperti Dinasti Mughal, Fathimiyah, Abasiah dan terakhir dinasti Turki Usmani adalah contoh konkret tentang keragaman yang ada dalam Islam. Dari sudut multikulturalisme internal ini, pluralisme identitas cultural keagamaan bagi masyarakat muslim, bukanlah menjadi sekedar fakta, lebih dari itu, multikulturalisme telah menjadi semangat, sikap hidup dan pendekatan dalam menjalani kehidupan dengan orang lain.

IV. MEWUJUDKAN PEMBELAJARAN MULTIKULTURAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Menurut Savage dan Amstrong,[15] pembelajaran berbasis multikultural berusaha memberdayakan siswa untuk mengembangkan rasa hormat kepada orang yang berbeda budaya, memberi kesempatan untuk bekerja bersama dengan orang atau kelompok orang yang berbeda etnis atau rasnya secara langsung. Pendidikan multikultural juga membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat. Pendidikan multicultural lebih lanjut diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis.[16]

Secara global, James A. Banks (1993, 1994-a)[17], mengidentifikasi ada lima dimensi pendidikan multikultural yang diperkirakan dapat membantu guru dalam mengimplementasikan beberapa program yang mampu merespon terhadap perbedaan pelajar (siswa), yaitu:

1. Dimensi integrasi isi/materi (content integration). Dimensi ini digunakan oleh guru untuk memberikan keterangan dengan ‘poin kunci’ pembelajaran dengan merefleksi materi yang berbeda-beda. Secara khusus, para guru menggabungkan kandungan materi pembelajaran ke dalam kurikulum dengan beberapa cara pandang yang beragam. Salah satu pendekatan umum adalah mengakui kontribusinya, yaitu guru-guru bekerja ke dalam kurikulum mereka dengan membatasi fakta tentang semangat kepahlawanan dari berbagai kelompok. Di samping itu, rancangan pembelajaran dan unit pembelajarannya tidak dirubah. Dengan beberapa pendekatan, guru menambah beberapa unit atau topik secara khusus yang berkaitan dengan materi multikultural.

2. Dimensi konstruksi pengetahuan (knowledge construction). Suatu dimensi dimana para guru membantu siswa untuk memahami beberapa perspektif dan merumuskan kesimpulan yang dipengaruhi oleh disiplin pengetahuan yang mereka miliki. Dimensi ini juga berhubungan dengan pemahaman para pelajar terhadap perubahan pengetahuan yang ada pada diri mereka sendiri;

3. Dimensi pengurangan prasangka (prejudice ruduction). Guru melakukan banyak usaha untuk membantu siswa dalam mengembangkan perilaku positif tentang perbedaan kelompok. Sebagai contoh, ketika anak-anak masuk sekolah dengan perilaku negatif dan memiliki kesalahpahaman terhadap ras atau etnik yang berbeda dan kelompok etnik lainnya, pendidikan dapat membantu siswa mengembangkan perilaku intergroup yang lebih positif, penyediaan kondisi yang mapan dan pasti. Dua kondisi yang dimaksud adalah bahan pembelajaran yang memiliki citra yang positif tentang perbedaan kelompok dan menggunakan bahan pembelajaran tersebut secara konsisten dan terus-menerus. Penelitian menunjukkan bahwa para pelajar yang datang ke sekolah dengan banyak stereotipe, cenderung berperilaku negatif dan banyak melakukan kesalahpahaman terhadap kelompok etnik dan ras dari luar kelompoknya. Penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan teksbook multikultural atau bahan pengajaran lain dan strategi pembelajaran yang kooperatif dapat membantu para pelajar untuk mengembangkan perilaku dan persepsi terhadap ras yang lebih positif. Jenis strategi dan bahan dapat menghasilkan pilihan para pelajar untuk lebih bersahabat dengan ras luar, etnik dan kelompok budaya lain.

4. Dimensi pendidikan yang sama/adil (equitable pedagogy). Dimensi ini memperhatikan cara-cara dalam mengubah fasilitas pembelajaran sehingga mempermudah pencapaian hasil belajar pada sejumlah siswa dari berbagai kelompok. Strategi dan aktivitas belajar yang dapat digunakan sebagai upaya memperlakukan pendidikan secara adil, antara lain dengan bentuk kerjasama (cooperatve learning), dan bukan dengan cara-cara yang kompetitif (competition learning). Dimensi ini juga menyangkut pendidikan yang dirancang untuk membentuk lingkungan sekolah, menjadi banyak jenis kelompok, termasuk kelompok etnik, wanita, dan para pelajar dengan kebutuhan khusus yang akan memberikan pengalaman pendidikan persamaan hak dan persamaan memperoleh kesempatan belajar.

5. Dimensi pemberdayaan budaya sekolah dan struktur sosial (empowering school culture and social structure). Dimensi ini penting dalam memperdayakan budaya siswa yang dibawa ke sekolah yang berasal dari kelompok yang berbeda. Di samping itu, dapat digunakan untuk menyusun struktur sosial (sekolah) yang memanfaatkan potensi budaya siswa yang beranekaragam sebagai karakteristik struktur sekolah setempat, misalnya berkaitan dengan praktik kelompok, iklim sosial, latihan-latihan, partisipasi ekstra kurikuler dan penghargaan staff dalam merespon berbagai perbedaan yang ada di sekolah.

Mengenai materi pendidikan agama Islam sendiri, menurut Z. Arifin Nurdin, gagasan multikultural bukanlah sesuatu yang sulit ataupun baru. Setidaknya ada tiga alasan untuk itu. Pertama, bahwa Islam mengajarkan menghormati dan mengakui keberadaan orang lain. Kedua, konsep persaudaraan Islam tidak hanya terbatas pada satu sekte atau golongan saja. Ketiga, dalam pandangan Islam bahwa nilai tertinggi seorang hamba adalah terletak pada integralitas taqwa dan kedekatannya dengan Tuhan.

Untuk merancang strategi hubungan multicultural dan etnik dalam sekolah dapat digolongkan kepada dua yakni pengalaman pribadi dan pengajaran yang dilakukan oleh guru. Dalam pengalaman pribadi dengan menciptakan pertama, siswa etnik minoritas dan mayoritas mempunyai status yang sama, kedua, mempunyai tugas yang sama, ketiga, bergaul, berhubungan, berkelanjutan dan berkembang bersama, keempat, berhubungan dengan pasilitas, gaya belajar guru, dan norma kelas tersebut.

Adapun dalam bentuk pengajaran adalah sebagai berikut : pertama guru harus sadar akan keragaman etnik siswa, tidak bisa dalam mendidik, kedua, bahan kurikulum dan pengajaran seharusnya refleksi keragaman etnik dan ketiga adalah bahan kurikulum dituliskan dalam bahasa daerah / etnik yang berbeda.

Jelasnya bila pengajaran multikultural dapat dilakukan dalam sekolah baik umum maupun agama hasilnya akan melahirkan peradaban yang juga melahirkan toleransi, demokrasi, kebajikan, tolong menolong, tenggang rasa, keadilan, keindahan, keharmonisan dan nilai-nilai kemanusiaan lainnya. Intinya gagasan dan rancangan sekolah yang berbasis multikultural adalah sebuah keniscayaan dengan catatan bahwa kehadirannya tidak mengaburkan dan atau menciptakan ketidakpastian jati diri para kelompok yang ada[18].

Sebagai langkah praksis, menurut Samsul Ma’arif, kurikulum pendidikan Islam setidaknya harus berisi beberapa muatan multikultural. Samsul mendeskripsikan solusinya ke dalam lima pokok muatan kurikulum;

a. Pendidikan agama seperti fiqih, tafsir tidak harus bersifat linier, namun menggunakan pendekatan muqaron. Ini menjadi sangat penting, karena anak tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan hukum dalam fiqih atau makna ayat yang tunggal, namun juga diberikan pandangan yang berbeda. Tentunya, bukan sekedar mengetahui yang berbeda, namun juga diberikan pengetahuan tentang mengapa bisa berbeda.

b.Untuk mengembangkan kecerdasan sosial, siswa juga harus diberikan pendidikan lintas agama. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam . Sebagai contoh, dialog tentang “puasa” yang bisa menghadirkan para bikhsu atau agamawan dari agama lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa ternyata puasa itu juga menjadi ajaran saudara-saudara kita yang beragama Budha. Dengan dialog seperti ini, peserta didik diharapkan akan mempunyai pemahaman khususnya dalam menilai keyakinan saudara-saudara kita yang berbeda agama. karena memang pada kenyataanya “Di Luar Islampun Ada Keselamatan”.

c. Untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam bukan hanya sekedar menyelenggarakan dialog antar agama, namun juga menyelenggarakan program road show lintas agama. Program road show lintas agama ini adalah program nyata untuk menanamkan kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama lain. Hal ini dengan cara mengirimkan siswa-siswa untuk ikut kerja bhakti membersihkan gereja, wihara ataupun tempat suci lainnya. Kesadaran pluralitas bukan sekedar hanya memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa diantara kita sekalipun berbeda keyakinan, namun saudara dan saling membantu antar sesama.

d.Untuk menanamkan kesadaran spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti spiritual work camp (SWC), hal ini bisa dilakukan dengan cara mengirimkan siswa untuk ikut dalam sebuah keluarga selama beberapa hari, termasuk kemungkinan ikut pada keluarga yang berbeda agama. Siswa harus melebur dalam keluarga tersebut. Ia juga harus melakukan aktifitas sebagaimana aktifitas keseharian dari keluarga tersebut. Jika keluarga tersebut petani, maka ia harus pula membantu keluarga tersebut bertani dan sebagainya. Ini adalah suatu program yang sangat strategis untuk meningkatkan kepekaan serta solidaritas sosial. Pelajaran penting lainnya, adalah siswa dapat belajar bagaimana memahami kehidupan yang beragam. Dengan demikian, siswa akan mempunyai kesadaran dan kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain.

e. Pada bulan Ramadhan, adalah bulan yang sangat strategis untuk menumbuhkan kepekaaan sosial pada anak didik. Dengan menyelenggarakan “program sahur on the road”, misalnya. Karena dengan program ini, dapat dirancang sahur bersama antara siswa dengan anak-anak jalanan. Program ini juga memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk menumbuhkan sikap kepekaan sosial, terutama pada orang-orang di sekitarnya yang kurang mampu.

Menurut penulis sendiri, -dalam posisi sebagai pendidik di Pesantren, peran multikultural akan semakin terasah dengan metode pendidikan yang mengarahkan langsung perserta didik pada praktek. Penulis menyebutnya sebagai metode pendidikan asimilasi, yakni pembauran antar peserta didik langsung dengan masyarakat[19]. Dalam lingkungan pendidikan umum, metode asimilasi ini dapat diturunkan ke dalam model pembelajaran kontekstual dan pemecahan masalah. Mengingat cakupan Kurikulum Pendidikan Agama Islam dengan muatan materi yang mencakup hampir pada semua nilai kemasyarakatan, pendidikannyapun dapat langsung diajarkan dengan berinteraksi dan memahami kondisi masyarakat yang ada di sekitar sekolah, tentunya yang ada kaitannya dengan materi pendidikan agama Islam.

Rekomendasi penulis bisa dipraktekkan dalam pelajaran Agama Islam, dengan subjek materi akidah akhlak misalnya, peserta didik tidak diharuskan untuk melulu belajar di kelas, dengan konteks memahami kemajemukan yang ada kaitannya dengan subtansi Akidah-akhlak, sekolah bisa mensiasati pendidikan dengan mengirim peserta didik melakukan penukaran belajar. Bentuknya bisa berupa pertukaran peserta didik dengan wali (orang tua) yang berbeda, dengan pertukaran silang ini sekaligus mengajarkan peserta didik langsung pada realita multikultural yang ada di masyarakat. Lingkup kecilnya, peserta didik akan langsung menghadapi kebiasaan (budaya) yang berbeda yang ditemui di rumah orang tua temannya, dan akan memahami secara langsung bagaimanakah sebenarnya perbedaan itu musti ada. Konsekuensinya, secara otomatis peserta didik akan mampu menerima dan menghayati perbedaan yang ada, minimal yang ia rasakan selama pertukaran pelajar ini.

V. PENUTUP

Sesuai dengan tujuan pendidikan sendiri yang menghendaki adanya perubahan perilaku dan sikap serta kualitas seseorang, maka pengajaran harus berlangsung sedemikian rupa sehingga tidak sekedar memberi informasi atau pengetahuan melainkan harus menyentuh hati, dan mendorong hasrat peserta didik untuk bisa mengambil keputusan berubah, dan mempraktekkannya langsung sepanjang kehidupan manusia.

Mengambil prinsip pendidikan sepanjang hayat (long life education), Pendidikan agama Islam juga harus mampu menjiwai pada tingkat kesadaran paling dalam pada diri siswa. Dengan demikian, di samping bertujuan untuk memperteguh keyakinan pada agamanya, pendidikan Agama Islam berbasis multicultural juga harus diorientasikan untuk menanamkan empati, simpati dan solidaritas terhadap sesama, menjadikannya sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari perilaku siswa keseharian terutama terkait dengan kemajemukan kultur (multicultural) yang ada. Maka, dalam hal ini, semua materi pelajaran yang diajarkan tentunya harus menyentuh dan bermuatan multikulturalitas. Dan dari sinilah urgensi multikultural bisa diajar dan dijalankan.

DAFTAR PUSTAKA

Binawah, Al. Andang L., Penyempitan kaebebasan Beragama, Yogyakarta, Basis, Januari –Februari 2004.

Dahm, Bernard, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta LP3ES, 1987.

Djamali, Fadhil, Al., Menerabas Krisis Pendidikan Dunia Islam, Jakarta, Golden Terayon Press, 1993.

Farris, P.J.,& Cooper, S.M., Elementary Social Studies: a Whole language Approach, Iowa: Brown&Benchmark Publishers, 1994.

Habermas, Jurgen, The Inclusion of the Other. Massachusetts: The MIT Press, 1998

Hara, A. Eby, Pengalaman Multikulturalisme di Berbagai Negara, dalam “Al-Wasathiyyah”, Vol I, februari 2006.

Hilmy, Masdar, Melembagakan Dialog, (Antar Teks) Agama, Kompas, Jakarta, 5 April 2002.

Kahin, George Mc Turnan, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Sinar Harapan dan UNS Press, 1995.

Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa: genealogi Inteligensia Muslim Indonesia abad ke-20. Bandung: Mizan, 2005.

------------------, Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah, dalam “Islam, HAM, dan Keindonesiaan, Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama”, MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jakarta, 23 Mei 2007

Liliweri, Alo, Gatra Gatra Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta, Pustaka pelajar,2001.

Makmun, Abin Syamsuddin, Psikologi Kependidikan, Jakarta, Remaja Rosdakarya, 2001.

Ma’arif, Syamsul, Islam Dan Pendidikan Pluralisme, (Menampilkan Wajah Islam Toleran Melalui Kurikulum PAI Berbasis Kemajemukan), makalah disampaikan dalam Annual Conference Kajian Islam Di Lembang Bandung Tanggal 26-30 November Tahun 2006

Nafi’, Dian, M., dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta, LKiS, 2007.

Nurdin, Z. Arifin, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah, dalam www.dirjen.depag.ri.or.id.

Savage, T.V,& Armstrong, D.G., Effective Teaching in Elementary Social Studies, Ohio: Prentice Hall 1996.Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1999).

Shihab, M. Quraisy, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 15 Vol., Jakarta: Lentera Hati, 2002

Suparlan, Parsudi, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, Simposium Internasional Bali, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002.

Tafsir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2002.

Wasathiyyah, Al-, Belajar Multikulturalisme dari Pesantren, Vol. I, N0. I, Februari 2006.

YH, Yana Syafrie, Multikulturalisme dan Agenda Kemanusiaan, WASPADA Online, 22 Mei 2004 15:54 WIB

http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaran-berbasis-multikultural/


[1] Parsudi Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural, Simposium Internasional Bali, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli 2002.

[2] Yana Syafrie YH, Multikulturalisme dan Agenda Kemanusiaan, WASPADA Online, 22 Mei 2004 15:54 WIB.

[3] Seperti separatisme Aceh yang menghasilkan status bumi serambi Mekah ini sebagai daerah istimewa (khusus), dengan penerapan syariat Islamnya, terlepasnya Timor Leste –terlepas dari debat tentang ketidak fairan bergabungnya negeri "Timor Manise" ini sebelumnya, Jaya Pura (Irian Jaya), dan daerah konflik lainnya adalah wujud ketidak harmonisan pemahaman pluralitas berbangsa kita.

[4] Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: genealogi Inteligensia Muslim Indonesia abad ke-20. Bandung, Mizan, 2005.

[5] George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Sinar Harapan dan UNS Press, 1995.

[6] Bernard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta LP3ES, 1987.

[7] Idiomatik “Jasmerah”, jangan lupakan sejarah, sering dirujuk oleh Soekarno sebagai pengingat untuk mengingatkan generasi setelahnya akan arti penting sejarah bangsa sebagai fondasi yang semestinya selalu dijadikan rujukan untuk membangun bangsa. Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta, 1969.

[8] Jurgen Habermas, The Inclusion of the Other. Massachusetts: The MIT Press, 1998

[9]Multikulturalisme oleh A. Eby Hara dibedakan dengan Pluralisme. Multikulturalisme dalam pandangannya lebih mengacu pada makna dan paham keberagaman dalam konteks kenegara dan bangsaan. Sementara pluralisme sendiri lebih pada makna toleransi keberagamaan. Lihat pada, A. Eby Hara, Pengalaman Multikulturalisme di Berbagai Negara, dalam “Al-Wasathiyyah”, Vol I, februari 2006, hal. 39.

[10] Surat al-Hujarat; 13 berbunyi: “ya ayyuha an-naasu inna khalagnakum min adz-dzakarin wa unsa wa ja’alnaakum syu’uban wa qabaaila lita’aarafu…”. Lihat lengkapnya dalam al-Quran al-Karim dan terjemahannya, Depag RI.

[11] Ayat ini berbunyai “wa min ayaatihi an khalaqa as-samaawaati wa al-Ardli wa akhtilaafi alsinatikum wa alwaanikum, inna fi dzaalika la-aayatii lil’alimiin, Depag Ri.

[12] Karena yang membedakan seorang muslim dengan muslim lain, serta lebih jauh dengan sesama manusia lain, hanyalah dengan takwanya, seorang muslim yang baik akan terpacu untuk berbuat baik, dikarenakan status yang sama yang dimilikinya.

[13] Asbab nuzul dari ayat ini adalah ajakan kaum kafir Quraisy untuk pencampuran agama, kaum kafir mau mengerjakan seruan Nabi Muhammad asalkan sebaliknya, Nabipun mau mengerjakan sesuai akidah mereka. Lihat pada M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, 15 Vol., Jakarta: Lentera Hati, 2002.

[14] Yudi Latif, Tafsir Sosiologis atas Piagam Madinah, dalam “Islam, HAM, dan Keindonesiaan Refleksi dan Agenda Aksi untuk Pendidikan Agama”, di MAARIF Institute for Culture and Humanity, Jakarta, 23 Mei 2007

[15] T.V Savage,& D.G. Armstrong, Effective Teaching in Elementary Social Studies, Ohio: Prentice Hall 1996.

[16] P.J. Farris,& S.M. Cooper, Elementary Social Studies: a Whole language Approach, Iowa: Brown&Benchmark Publishers, 1994.

[17] JamesA Banks, “Multicultural Educatian: Historical Development, Dimentions and Practrice” In Review of Research in Education, vol. 19, edited by L. Darling- Hammond. Washington D.C.: American Educational Research Association,1993.

[18] Z. Arifin Nurdin, Gagasan dan Rancangan Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural di Sekolah Agama dan Madrasah, dalam www.dirjen.depag.ri.or.id.

[19] Beberapa pesantren klasik menerapkan system pembelajaran dengan langsung berbaur pada masyarakat, bahkan berinteraksi langsung dengan memakai sebagian rumah penduduk sebagai tempat tinggal, sekaligus tempat untuk belajar. Penulis pernah mengunjungi pesantren “watu congol” dan “pondok sepuh” di Mlangi, yang rata-rata rumah penduduknya dijadikan tempat menginap santri.