Jumat, 08 Agustus 2008

PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL BERBASIS PEMECAHAN MASALAH

A. PENDAHULUAN

Pembelajaran yang berlandaskan pada filosofi konstruktivisme berasumsi bahwa siswa belajar mengkonstruksi konsep melalui pengalaman hidupnya sendiri dan bukan menghafal konsep. Pembelajaran semacam ini senantiasa dikaitkan dengan koteks kehidupan siswa, agar mereka dapat menerapkan isi matapelajaran berkaitan dengan pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Pola pembelajaran ini lebih diarahkan pada memberdayakan peserta didik melalui berfikir aktif serta kreatif. Salah satu aplikasi pembelajaran kontekstual yang dianggap dapat meningkatkan aktivitas dan kreativitas paling baik bagi anak didik adalah membelajarkannya melalui pengamatan langsung kepada objek permasalahan yang sesungguhnya yang ada disekitarnya, seperti kondisi: alam, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang ada di sekitar sekolah di mana anak didik berada. Dengan demikian, pola pembelajaran tersebut bukan sekedar transfer ilmu antara guru dan murid, melainkan membebaskan dan melepaskan pikiran siswa untuk merasakan, mengamati, menemukan, dan menyimpulkan analisis secara pribadi. Dalam pembelajaran semacam ini guru berperan sebagai pembimbing, fasilitator, dan motivator yang membantu dalam proses belajar (self direct learning) di mana siswa dapat dengan bebas mengkonstruksi apa yang dilihat, diamati, ditulis, dan dipresentasikan berdasarkan pengalaman belajarnya sendiri, sehingga dapat mengembangkan kecakapan hidup siswa.

Pola pembelajaran kontekstual sebagai orientasi riset ini berpandangan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat menguatkan, memperluas, menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademiknya baik di dalam maupun di luar sekolah, serta peserta didik dapat memecahkan berbagai permasalah dalam dunia nyata. Pembelajaran kontektual merupakan perpaduan banyak praktik pembelajaran yang pada akhir-akhir dianggap paling baik dan relevan bagi peningkatan keterampilan hidup peserta didik. Hal itu dimaksudkan untuk memperkaya relevansi dan penggunaan fungsi pendidikan bagi semua peserta didik.

Dalam pembelajaran kontekstual, para guru cenderung berperan sebagai fasiltator yang ”membantu” siswa mencapai tujuan belajar. Guru lebih banyak berurusan dengan strategi daripada memberi informasi. Guru dituntut mengelola kelas yang merupakan sebuah tim secara kooperatif menemukan sesuatu yang baru bagi siswa. Dalam hal ini siswa mendapatkan ”pengetahuan baru” yang berasal dari menemukan sendiri atas dasar pengamatan (penelitian lapangan) bukan dari apa kata guru. Guru membantu menghubungkan pengetahuan yang dimiliki siswa (etnry behavior) dengan pengetahuan yang ”baru” di dapatkannya, sehingga guru hanya mengarahkan dan menfasilitasi belajar serta memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan idenya. Dengan demikian, strategi belajar lebih dipentingkan daripada hasil belajarnya (Blanchard, 2001 dan Nurhadi, 2002-b: 1-2).

Dalam pembelajaran kontekstual terkait dengan interaksi/hubungan yang erat antara peserta didik dengan pengalaman sesungguhnya. Dalam hal ini siswa mengalami apa yang dipelajarinya bukan hanya apa yang diketahuinya. Atas hal tersebut, tampaklah bahwa pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggungjawab peserta didik sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa, dan bahkan sebagai pekerja.

Memperkuat pendapat tersebut di atas, Susilo (2001:3) memberikan penegasan bahwa penggunaan pembelajaran kontekstual memiliki potensi untuk tidak hanya mengembangkan ranah pengetahuan dan keterampilan siswa, tetapi juga, mengembangkan sikap, nilai, dan kreativitas siswa dalam memecahkan masalah yang terkait dengan kehidupannaya. Demikian halnya Rostana (2002:4) menegaskan bahwa pembelajaran semacam itu bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel dapat diterapkan (ditransfer) dari satu permasalahan ke permasalahan lain dan dari satu konteks ke konteks lainnya.

B. PEMBAHASAN

1. Pembelajaran Kontekstual

Crowford (2001) mencatat setidaknya ada lima strategi pembelajaran kontekstual yaitu Relating, Experinecing, Applying, Cooperating, dan Transfering. Kelimanya merupakan strategi pembelajaran yang dilaksanakan dalam konteks tempat lingkungan kelas, laboratorium, masyarakat, dan tempat kerja. Penjelasan masing-masing strategi tersebut sebagai berikut. Relating merupakan strategi mengajar kontekstual yang paling berpengaruh, yang beredar di "jantung" konstruktivis, terkait dengan konteks pengalaman hidup atau pengetahuan awal peserta didik. Di mana setiap guru mengkaitkan konsep baru dengan ide yang akrab dengan siswa. Experiencing adalah strategi mengajar yang melibatkan siswa, tujuannya agar melakukan kegiatan belajar dengan learning by doing yaitu mengalami sendiri melalui kegiatan eksperimen, penelitian, dan penciptaan. Kegiatan langsung dapat melibatkan manipulasi, pemecahan masalah, kegiatan praktikum di lapangan. Applying merupakan penerapan konsep yang ada dengan atau pada konteks lain. Cooperating adalah melakukan kegiatan kerjasama antara siswa, seperti melalui kegiatan diskusi kelompok atau diskusi kelas dan melakukan kegiatan praktikum di lapangan secara berkelompok. Selanjutnya, transfering merupakan kegiatan belajar penggunaan konsep pada konteks baru.

Nurhadi (2002-a:5) menjelaskan pendekatan kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, basil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Selanjutnya, Nurhadi mencatat 15 kata kunci pembelajaran kontekstual sebagai berikut: (1) real world learning; (2) mengutamakan pengalaman nyata; (3) berpikir tingkat tinggi; (4) berpusat pada siswa; (5) siswa aktif, kritis, dan kreatif; (6) pengetahuan bermakna dalam kehidupan; (7) dekat dengan kehidupan nyata; (8) perubahan perilaku; (9) siswa praktik bukan menghafal; (10) learning bukan teaching; (11) pendidikan (education) bukan pengajaran (instruction); (12) pembentukan manusia; (13) memecahkan masalah; (14) siswa "acting" guru mengarahkan dan; (15) hasil belajar diukur dengan berbagai cara bukan hanya dengan tes.

Sedangkan elemen dalam pembelajaran konstruktivistik adalah sebagai berikut: (1) Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge); (2) Pemerolehan pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan dulu, kemudian memeperhatikan detailnya; (3) Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge), yaitu dengan cara menyunsun: (a) konsep sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan; (4) Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge ); (5) Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut (Zahorik, 1995:14-22 dalam Nurhadi 2002-a).

2. Pembelajaran Berdasarkan Masalah

Pembelajaran berdasarkan pemecahan masalah bertujuan/berguna untuk merancang siswa berpikir tingkat tinggi termasuk di dalamnya merangsang siswa belajar bagaimana belajar. Peran guru dalam pembelajaran ini adalah menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan, dan menfasilitasi penyelidikan, dan dialog. Dalam hal ini guru melakukan suatu kerangka dukungan yang memperkaya inkuiri dan pertumbuhan intelektual siswa. Pola pembelajaran ini tidak akan bisa terjadi tanpa adanya guru mengembangkan lingkungan kelas yang memungkinkan terjadinya pertukaran ide secara terbuka. Penyajian masalah autentik dan bermaknalah yang dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri dalam proses belajar. Adapun ciri-ciri pembelaaran berdasarkan masalah adalah sebagai berikut (Ibrahim dalam Nurhadi, 2002-a).

1) Mengajukan pertanyaan dan masalah.

Pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pertanyaan dan masalah yang bermakna bagi siswa. Dalam hal ini yang diajukan adalah situasi kehidupan nyata (autentik) dan adanya berbagai macam solusi yang dapat derikannya.

2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin.

Meskipun pembelajaran ini berpusat pada masalah pada matapelajaran tertentu (seperti IPS-Geografi) masalah yang akan dikaji telah dipilih, yakni masalah yang benar-benar nyata agar dalam pemecahannya siswa meninjau masalah ini dari sudut pandang objek geografi dan matapelajaran lainnya.

3) Penyelidikan autentik.

Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik (semacam penelitian sederhana) untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang ada. Siswa menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis data/informasi, membuat referensi, dan merumuskan simpulan.

4. Menghasilkan karya dan mempresentasikannya.

Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau karya tulis dan kemudian meragakannya serta menjelaskan, atau bisa juga dalam bentuk suatu penyelesaian masalah yang ditemukan siswa. Produk tersebut dapat berupa karya tulis, laporan, karya/model/market, video, atau bahkan program komputer.

5. Kerja sama.

Pembelajaran berdasarkan masalah juga dicirikan oleh di mana siswa bekerja sama antara satu dengan lainnya dalam bentuk berpasangan atau kelompok kecil. Berkerja sama memberikan motivasi untuk secara berkelajutan terlibat dalam tugas-tugas kompleks dan berpeluang berbagi pengalaman dan berdialog untuk mengembangkan keterampilan sosial dan keterampilan berpikir.

Pembelajaran berdasarkan masalah ini sebenarnya dikembangkan untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilam intelektual. Pembelajaran ini melibatkan siswa ke dalam pengalaman nyata, sehingga menjadikan siswa sebagai pebelajar yang otonom dan mandiri. Pelaksanaan pembelajaran ini biasanya dimulai dari guru memperkenalkan kepada siswa dengan suatu situasi masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Pembelajaran akan lebih baik apabila diarahkan pada suatu bentuk belajar melakukan riset kecil-kecilan, sehingga siswa lebih aktif dan kreatif dalam menggali data dan informasi untuk mencaritahu permasalahan yang sedang akan dikaji dan memberikan berbagai alternatif pemecahannya. Hal tersebut yang menjadi pandangan dalam riset ini, di mana permasalahannya didasarkan atas permasalahan geografik yang sesungguhnya terjadi di sekitar lingkungan siswa. Contohnya: kasus tanah longsor dan banjir lahar dingin dari gunung semeru di Lumajang, pencemaran sungai di kota Malang, kasus kekeringan di Madura, dan banjir akibat luapan bengawan solo.

Salah satu bentuk pembelajaran berbasis permasalahan adalah dengan menggunakan pola outdoor study. Asumsinya bahwa belajar adalah proses yang dapat mengembangkan imajinasi berfikir siswa terhadap term-term permasalahan yang ada di sekelilingnya (Toffler, 1974:165; Kunkel, 1975:49). Belajar merupakan upaya menciptakan dan memancing emosi peserta didik untuk berfikir dan bekerja (bertindak) kritis terhadap lingkungan yang ada di sekitarnya. Belajar ke arah pengembangan cara berfikir dan bertindak melakukan pemecahan masalah secara interdisipliner karena dengan cara mengamati langsung terhadap fakta empirik yang ada di lapangan dalam kehidupan sehari-hari (Toffler, 1974:170-177). Belajar dapat menggugah kepedulian sosial (social responsibility) terhadap kondisi dan lingkungan yang ada di sekitarnya (Toffler, 1974:159; Kunkel, 1975:3).

Pembelajaran outdoor study merupakan seperangkat alat pembelajaran yang dilakukan di luar kelas yang memanfaatkan kondisi lingkungan sekitar siswa (sebagai media pembelajaran). Pola pembelajaran semacam ini menempatkan siswa sebagai subjek (bukan objek) terdidik yang berinteraksi secara langsung dengan objek yang dikaji di lapangan (outdoor). Pola pembelajaran semacam itu mengarah pada aktivitas, kreativitas, dan kekritisan siswa yang menyebar pada ketiga domain (kognitif, afektif, dan khususnya psikomotor). Dalam melaksanakan pembelajaran semacam ini diperlukan langkah-langkah sebagai berikut.

1) Merumuskan tujuan: perumusan tujuan harus diuraikan dengan jelas dan tegas, menjelaskan alasan yang tepat, dan menguraikan pentingnya outdoor study.

2) Membuat rencana kerja: dibuatkan rencana yang konkrit mengenai tempat dan lokasi yang sesuai dengan topik bahasan yang akan dikaji atau dipelajari.

3) Membuat aturan atau menentukan berbagai aturan selama proses pembelajaran.

4) Menyusun tugas: membuat berbagai tugas yang harus dikerjakan atau dilakukan oleh siswa selama di lapangan.

5) Berdialog: selama di lapangan dilakukan berbagai diskusi dengan para siswa bahkan dengan masyarakat, di mana guru sebagai mediator diskusi tersebut.

6) Follow up: membuat laporan sebagai hasil selama melakukan pembelajar di lapangan dengan menggunakan format tertentu yang telah dirancang oleh guru dan selanjutnya mempresentasikannya.

Perolehan keterampilan yang diharapkan dalam pembelajaran dengan cara outdoor study antara lain berupa:

1) Keterampilan dasar seperti berupa tindakan mengobservasi, mengklarifikasi, mempre-deksi, mengukur, menyimpulkan, dan mengkomunikasikan termasuk di dalamnya learning to do tentang apa yang diperbuat.

2) Keterampilan mengintegrasikan antara lain berupa mengidentifikasi beberapa variabel, menggambarkan hubungan antarvariabel, memperoleh dan menganalisis data, menyusun hipotesis, merumuskan beberapa variabel secara operasional, dan akhirnya melakukan beberapa eksperiman.

Membelajarkan siswa melalui pola pembelajaran tersebut bukan sekedar transfer ilmu antara guru dan murid, melainkan membebaskan dan melepaskan pikiran siswa untuk merasakan, mengamati, menemukan, dan menyimpulkan berdasarkan analisis secara pribadi. Di sini guru berperan sebagai pembimbing, fasilitator, dan motivator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.

Pembelajaran tersebut layak diterapkan pada mata pelajaran Geografi sebagai salah satu cabang ilmu terapan yang mempunyai kandungan ilmu yang luas yang berupa interaksi antara kondisi fisik (SDA) dengan keberadaan manusia (SDM). Dalam mengkaji ilmu Geografi dijumpai adanya objek material dan objek formal. Di mana masing-masing objek sama-sama menekankan pada gejala-gejala yang terjadi di muka bumi melalui berbagai fenomena geosfer (hidrosfer, atmosfer, biosfer, litosfer, dan antroposfer/humanosfer) dan fenomena hubungan timbal balik atau interaksi antara manusia dengan alam dalam sudut pandang kewilayahan/ kelingkungan dalam konteks keruangan

Dalam kaitannya dengan aplikasi pembelajaran yang menggunakan metode pemecahan masalah (terhadap objek geografi) diperlukan beberapa urutan tahap kegiatan sebagai berikut: (1) mengamati; (2) mengklasifikasikan; (3) mengkomunikasikan; (4) mengukur; (5) memprediksi; dan (6) menyimpulkan. Setiap hasil yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran terkait dengan hasil pemahaman dari sebuah proses pembelajaran untuk didiagnostik dan dikembangkan. Diagnostik dan pengembangan tersebut diperoleh dari kegiatan evaluasi hasil belajar siswa.

Setiap hasil pemahaman siswa selalu menunjukkan sejauh mana taraf keberhasilan guru dan belajar siswa secara tepat (valid), dapat dipercaya (reliable), dan dapat dipertanggung jawabkan (responsible). Untuk mengukur hasil belajar siswa selama ini menggunakan ukuran domain dari Bloom berupa kognitif, afektif, dan psikomotor (Gage and Berliner, 1985; Dimyati dan Mudjiono, 1994: 26-30). Namun demikian, dalam praktiknya pengukuran terhadap ketiga ranah tersebut tidak dilakukan secara komprehensif dan realistik. Pengukuran cenderung hanya dilakukan pada ranah afektif, yakni melalui tes hasil belajar dan belum pernah mengukur ranah life skill, setidaknya dalam bidang pembelajaran IPS-Geografi di sekolah.

Untuk membelajarkan dengan metode pemecahan masalah pada beberapa topik IPS-Geografi diperlukan motivasi dan keaktifan siswa dalam memahami konsep melalui rentetan peristiwa (pengalaman) pembelajaran yang diperoleh langsung di lapangan. Belajar terjadi bila perubahan dalam bentuk tingka laku para peserta didik yang dapat diamati langsung oleh guru. Dengan demikian, dalam pola pembelajaran semacam itu guru berperan sebagai pembimbing, fasilitatror, motivator, dan sekaligus evaluator secara langsung yang mengajak siswa belajar di luar kelas dan membebaskan siswa mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor dalam dirinya.

Penerapan pembelajaran dengan pendekatan tersebut akan memudahkan guru dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa. Diketahui bahwa motivasi merupakan unsur penting dalam proses pembelajaran yang dipandang sebagai dorongan mental untuk mrnggerakkan dan mengarahkan perilaku manusia, termasuk perilaku belajar. Dalam motivasi terkandung adanya keinginan, harapan, kebutuhan, tujuan, sasaran, dan insentif. Kondisi kejiwaan semacam inilah yang mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan, dan mengarahkan sikap, serta perilaku belajar individu (Dimyati dan Mudjiono, 1994: 75).

Adanya dorongan mental dalam diri siswa, secara otomatis akan berimbas langsung pada perilaku fisik siswa yang ditunjukkan ketika siswa mengamati, memperhatikan, berdiskusi, memecahkan masalah, dan mengadakan perbandingan antara buku teks dengan kenyataan di lapangan sampai pada waktu membuat kesimpulan akhir. Dapat dikatakan pula bahwa kegiatan fisik dalam proses pembelajaran itu tidak berdiri sendiri atau semata-mata karena kegiatan fisik, namun juga dalam waktu bersamaan memerlukan kegiatan mental.

Dalam hal ini, pola pembelajaran problem-solving merupakan salah satu cara yang sesuai agar dapat membentuk karakter siswa yang senantiasa kritis. Pembelajaran semacam itu sangat sesuai pada materi pelajaran yang menyangkut objek lingkungan dan kehidupan sehari-hari (Gage and Berliner, 1985:4-5). Mc Crown and Roop (1989:49) menyebutnya sebagai pengalaman fisik (physical experience) bagi peserta didik, karena peserta didik dapat bertemu dengan objek belajar secara langsung. Memanfaatkan lingkungan alam dan lingkungan kehidupan di sekitarnya. Pemanfaatan lingkungan sekitar tersebut sangat diperlukan bagi suatu proses pembelajaran yang dapat meningkatkan kreativitas dan kekritisan peserta didik, di samping keterampilan hidup (Gage and Berliner, 1985:8-9; Kunkel, 1975:2-3).

Seperti diketahui dalam domain pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotor) tujuan kompetensi belajar akan menjadi lebih bermakna bagi siswa jika berada pada tingkatan yang lebih tinggi. Dalam domain kognitif setidaknya berada pada tingkat aplikasi atau analisis. Dalam domain afektif setidaknya pada tingkat melakukan penilaian. Khususnya dalam domain psikomotor setidaknya pada tingkat mengkomunikasikan atau bertingkalaku “aktif-kreatif” (Gage and Berliner, 1985:53-57). Hal itu akan semakin bermakna bila dikaitkan dengan sikap “peduli” terhadap lingkungan sekitarnya, yang merupakan salah satu komponen penting bagi kompetensi siswa.

Belajar berbasis pemecahan masalah yang ada sebagai proses membangun atas pemahaman terhadap berbagai fenomena pengalaman hidup, problema kehidupan, dan kondisi lingkungan sekitar peserta didik (Toffler, 1974:169; Gage and Berliner, 1985:152). Selanjutnya, dapat meningkatkan pemahaman bagi individu si belajar akan ilmu pengetahuan yang didapat dan makna hidup (Gage and Berliner, 1985:163). Selanjutnya, cenderung dapat meningkatkan kreativitas dan memory pengetahuan peserta didik (Gage and Berliner, 1985:264-267) dalam hal fakta dan fenomena kegeografian. Hal tersebut sejalan dengan konsep bahwa pembelajaran sebagaimana proses memahami berbagai fakta yang memunculkan suatu program pengajaran, sehingga tercipta lingkungan yang memberi peluang untuk berlangsungnya proses belajar yang efektif (Staton, 1978:9).

Selain hal tersebut di atas, pembelajar yang memanfaatkan berbagai permasalahan objek lingkungan/geografi yang ada di sekitar peserta didik itu bertujuan untuk membangun pola pikir siswa, sehingga dapat melakukan belajar secara bebas (tidak tertekan atau terpaksa). Dengan suasana belajar seperti itu cenderung dapat membangun kreativitas berfikir, melakukan identivikasi, serta memecahkan masalah secara humanis dan terintegrasi sesuai dengan sikon yang diketemukan di lapangan (Toffler, 1974:162; Ullich, 1971:2).

Berdasarkan atas uraian di atas, pembelajaran dengan menggunakan metode pemecahan masalah yang dimaksud dalam riset ini adalah pembelajaran yang di lakukan terhadap objek permasalahan geografi sesungguhnya yang ada di sekitar sekolah/tempat tinggal siswa yang dilakukan dengan jalan sebagai berikut: (1) Observasi dan atau wawancara dengan objek geografi secara langsung di lapangan. Siswa melakukan pengamatan terhadap berbagai objek Geografi sesungguhnya secara perorangan/kelompok (satu kelompok sebaiknya maksimal 3 orang); (2) Melakukan pengumpulan data, siswa melakukan pengumpulan data tentang objek pelajaran Geografi langsung di lapangan; (3) Pembuatan laporan, siswa melakukan pembuatan laporan dari berbagai hasil pengamatan/wawancara dan pengumpulan data yang telah dilakukannya. Format laporan dirancang oleh guru agar hasilnya tidak menyimpang terhadap tujuan pembelajaran yang semula direncanakan; (4) Presentasi hasil laporan yang ditulis dan didiskusikan di dalam kelas dan dibimbing guru (hal ini sebagai upaya follow up pada pembelajaran ini).

C. PENUTUP

1. Hasil Riset Sebagai Pembanding

Hasil riset yang dilakukan Fatchan, et-all (2004) menunjukkan bahwa penerapan pembelajaran IPS-Geografi di SD yang berbasis proyek dapat meningkatkan kemampuan, aktivitas, dan kreativitas mahasiswa secara signifikan. Lebih lanjut, mahasiswa juga dapat mempraktikkan secara optimal terhadap keterampilan mengajar dengan menggunakan alat peraga geografi. Penggunaan alat peraga yang dipadukan dengan keterampilan menjelaskan oleh mahasiswa ketika praktik mengajar mengakibatkan mahasiswa semakin percaya diri dalam mengajar. Selanjutnya, penyampaian pembelajarannya dapat dilakukan secara sistematis, sehingga mudah dipahami peserta didik.

Temuan lainnya menunjukkan bahwa peserta didik yang mengikuti pembelajaran dengan menggunakan/ menerapkan pembelajaran berbasis proyek memberi pengaruh terhadap aktivitas, kreativitas, keberanian siswa dalam menyampaikan pendapat. Hal itu karena ditunjang oleh adanya alat peraga yang disajikan oleh guru cukup menarik. Alat peraga pembelajaran tersebut berupa model dari salah satu objek materi geografi yang cocok dan dapat dijelaskan dengan menarik oleh calon guru (Purwito; Marhadi; dan Sukamto, 2005: 109).

Namun demikian, dijumpai adanya titik lemah dengan menggunakan/menerapkan pola pembelajaran ini. Kelemahan itu antara lain peserta didik agak mengalami kesulitan mengelaborasi objek materi geografi. Hal itu karena peraga yang digunakan merupakan model (objek tiruan) dan bukan objek sesungguhnya. Untuk itu, riset yang akan dilakukan di sini mencoba menyempurnakannya dengan menggunakan/ melakukan pengamatan terhadap objek sesungguhnya. Pengamatan terhadap objek sesungguhnya itu antara lain dapat dengan menggunakan pola pembelajaran outdoor study.

Hasil penelitian Cross (1996) menunjukkan bahwa rendahnya tingkat kepercayaan diri dan kemampuan belajar masing-masing peserta didik mempengaruhi kesulitan dalam mampelajari hal-hal baru. Cross menyebutkan pula bahwa hal-hal yang berkaitan dengan upaya peningkatan partisispasi ada enam komponen yang dapat dirangkai dalam konsep COR (chain of response) yakni menaikkan tingkat kepercayaan, membangun sikap, mempertemukan sasaran dengan harapan dari si belajar, tanggapan terhadap masa peralihan, kesempatan berkreasi dan menghilangkan berbagai gangguan yang ada, dan penyediaan informasi.

Untuk membangun sikap peserta didik diperlukan mengembangkan pribadi dan sikap, di samping sikap dan pandangan masyarakat tentang pendidikan. Terkait dengan hal ini Cross (1983) dan Robenson (1977) berdasarkan hasil penelitiannya di Iowa dan California mencatat bahwa penghargaan terhadap hasil pembelajaran, menciptakan lingkungan yang mendukung, orientasi faktor sosiobudaya dan geografi, dan keberadaan kondisi kependudukan dapat mendatangkan sikap yang positif bagi si belajar. Untuk itu, model pembelajaran yang dilakukan harus terkait dengan keterampilan hidup (life skill) bagi para peserta didik.

Untuk membangun sikap yang positif bagi suatu pendidikan/pelatihan diperlukan: dukungan dan partisipasi masyarakat, menghargai kepentingan peserta, informasi tentang kesempatan kerja, dan pelayanan yang komunikatif serta efektif. Untuk itu diperlukan: desain berdasar tujuan yang diinginkan, desain berdasarkan kepentingan masyarakat dan si belajar, revisi dan remidial guna perbaikan pelaksaan pembelajaran yang lebih baik (Howl, 1961; Cross, 1996). Selanjutnya diperlukan pula adanya evaluasi, penghargaan kepada si belajar, dan dukungan serta partisipasi dari masyarakat di sekitarnya.

Fatchan, et-all (2004), berdasarkan hasil riset kerjasama dengan Plan Internasional Indonesia, mencatat bahwa pembelajaran di tingkat sekolah dasar yang menggunakan pendekatan pembelajaran berdasarkan konteks kondisi lingkungan dan penyertaan orang tua siswa dalam membantu proses belajar menjadikan keajegan belajar di sekolah lebih baik, hasil belajar cenderung lebih baik, aktivitas siswa semakin meningkat, kepedulian siswa dan orang tua tentang pembelajaran dan pendidikan anak juga semakin baik. Khususnya di daerah/ desa peternakan sapi, anak menjadi lebih memahami arti dari usaha peternakan, bagaimana mereka harus ikut memelihara kebersihan kandang dan ternak (life skill anak meningkat), anak tidak dibebani pekerjaan lebih berat dalam memelihara ternak. Misalnya, sebelumnya anak harus mencari rumput walaupun pada waktu pagi hari (khususnya ketika musim tanam atau musim panen tiba), sehingga anak sering tidak masuk sekolah, namun sekarang anak hanya ditugasi mencari rumput pada sore hari. Selanjutnya, juga melahirkan kesadaran orang tua siswa bahwa kandang sapi akan dipindahkan ke bagian belakang rumah. Sebelumnya setiap kandang sapi selalu diletakkan di depan rumah/ di samping ruang tamu.

Temuan Gaer (1998) dalam Fatchan (2004) disebutkan bahwa pembelajaran berbasis proyek senantiasa harus merupakan penerapan pola pembelajaran kontekstual, Dalam aplikasi pembelajaran berbasis proyek ini si belajar cenderung menjadi lebih aktif dan kreatif. Sementara guru atau instruktur berposisi di belakang (sebagai fasilitator) pembelajaran dan si belajar menjadi cenderung lebih berinisiatif, guru lebih mudah dalam mengevaluasi kebermaknaan hasil belajar, dan evaluasi dapat dilakukan secara realistis yang terkait dengan kehidupan sehari-hari si belajar. Selanjutnya, hal itu diperjelas oleh temuan Purwito; Marhadi; dan Sukamto (2005) bahwa hasil pembelajaran yang dilakukan pada mahasiswa Geografi yang menggunakan model pendekatan berbasis proyek dapat menciptakan pola pembelajaran yang bersifat kolaboratif, inovatif, unik, dan berfokus pada pemecahan masalah yang berkaitan dengan kebutuhan dan atau kehidupan sehari-hari para peserta didik.

Namun demikian, pola pembelajaran ini mempunyai kelemahan antara lain bahwa pola pembelajaran semacam itu membutuhkan waktu yang relatif lebih panjang atau lebih lama, tugas atau pekerjaan yang diberikan terkadang kurang pas dengan konteks kehidupan si belajar. Hal ini karena, kurang mampunya peserta didik dalam upaya mengeksplorasi hasil belajar yang mereka kerjakan. Hal ini dipertegas dengan temuan Basmajian (1978) dalam Lawson (1992) yang mencatat para mahasiswa akan mempunyai penalaran formal pada perkuliahan biologi bila perkuliahan dilakukan melalui media audio­ dan tutorial. Mahasiswa yang mempunyai penalaran formal umumnya dapat lebih manguasai materi perkuliahan daripada mahasiswa yang mempunyai penalaran konkrit. Selanjutnya, demikian halnya pada para mahasiswa yang mempunyai keterampilan praktik laboratorium atau praktik di lapangan akan lebih mampu berpikir kritis.

Berdasar temuan tersebut, maka kelemahan pola pembelajaran semacam itu kebanyakan disebabkan bahwa para siswa selama ini terbiasa dengan pembelajaran secara klasikal (di kelas) dan belum pernah konteks dengan objek sesungguhnya. Beberapa kelemahan tersebut akan dicoba diatasi menggunakan pembelajaran kontekstual dengan pola outdoor study yang dirancang secara konprehensif dan akurat serta dalam konteks lingkungan dan atau kejadian (permasalahan) yang sesungguhnya (yang sedang/pernah dialami peserta didik di sekitar tempat tinggal/sekolah peserta didik), yang dirancang dalam riset ini.

Lawson (1992) dalam suatu risetnya dapat membuktikan bahwa keterampilan penalaran merupakan prediktor yang paling konsisten terhadap prestasi belajar dibanding variable lainnya seperti gaya (style), kognitif, kapasitas mental, fluid intelegence. Ia juga mencatat bahwa perkuliahan biologi umum, khususnya terkait dengan keterampilan pemecahan masalah genetik, para mahasiswa yang mempunyai penalaran formal lebih berhasil secara signifikan dibanding mereka yang mempunyai penalaran transisi. Para mahasiswa yang mempunyai penalaran transisi juga lebih berhasil dibandingkan dengan yang mempunyai penalaran kongkrit. Greene (1990) dalam Susilo (2001) menemukan bahwa kesulitan mahasiswa untuk memahami seleksi alam terutama disebabkan oleh karena kesalahan (error) penalaran. Begitu juga temuan Lawson (1992) menunjukkan bahwa mahasiswa yang miskin penalaran lebih banyak menganut kepercayaan yang tidak ilmiah dalam kreativitasnya.

Seperti diketahui bahwa pembelajaran melalui pendekatan pemasalahan juga melibatkan siswa pada olah penalaran. Dampak pembelajaran semacam itu sejalan dengan temuan yang dicatat oleb Crow (1989): bahwa pemikiran kritis dapat dikembangkan melalui aktivitas yang berupa semacam pengujian pertanyaan ataupun pendekatan inkuiri.

2. Saran

Makalah ini tentunya jauh dari sempurna. Namun setidaknya walaupun makalah ini berisi lebih pada telaah teoritis, penulis berharap makalah ini mampu berperan sebagai langkah awal yang mampu memancing minat para peneliti di bidang pendidikan, terkait dengan pentingnya penelitian-penelitian mutakhir dalam lapangan pendidikan kita –tentunya konsep awal dari makalah ini akan menemukan validitasnya dengan beberapa penelitian lapangan yang telah banyak diprakarsai sebagaimana riset-riset di atas.

Pembelajaran kontekstual berbasis pemecahan masalahan belum banyak diterapkan dalam dunia pendidikan kita. Mengingat betapa pentingnya menggiring peserta didik pada kemandirian, dan menvisikan peserta didik pada kondisi-kondisi baru yang mesti mereka hadapi, pembelajaran kontekstual berbasis pemecahan masalah ini patut dipertimbangkan. Banyak mata pelajaran yang bisa diisi setidaknya dengan variasi model pembelajaran kontekstual berbasis masalah ini.

Ketidaksiapan sekolah dan guru dalam sarana prasarananya, bisa disiasati dengan mengoptimalkan pada sarana yang ada. Dalam kasus pembelajaan kontekstual berbasis pemecahan masalah ini, guru hanya dituntut mampu menggiring peserta didik pada masalah keseharian yang dapat ditemukan dalam kehidupan keseharian mereka. Mencoba membuka cakrawala pengetahuan mereka dan memecahkan problem yang mereka hadapi dengan pola pikir mereka.

Sekian, Terimakasih.

Mustatho’

Pendidik di Madrasah Diniyah Pon-Pes Al-Musthafa, Prambontergayang, RT. 02/11, Soko, Tuban

No telp. 0815 7878 5376

Blog.http//.mustathok.blogspot.com

Email.tatok.m@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA

Amirudin, Achmad; Ach. Fatchan; Budijanto, 2006, Pengembangan Model Pendidikan Keterampilan Hidup (Life Skill) bagi Anjal dengan Menggunakan Chain of Response, Dirjen Dikti, DP2M, Jakarta – Lemlit UM-Malang, Malang

Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2001. Kurikulum Berbasis Kompetensi (Kompetensi Dasar)Pelajaran Biologi Untuk SLTP Buram ke-7. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Bruce, D. M. 1996. The Quiet In Science Education-Teaching Science The Way Studenta Learn. Journal of College Science Teaching, XXV (3): 169 -171.

Corebima, A. D., 2000. Pemberdayaan Penalaran Pada PBM IPA-Biologi SMP Untuk Menunjang Perkembangan Pena/aran Formal Mahasiswa di Jenjang Perguruan Tingg; Laporan Penelitian Tindakan Kelas Tahun Anggaran 1999/2000. Malang: Lemht UM Malang.

Cotton, Kathleen, 1990, Educating Urban Minority Youth: Research on Effective Practice, dalam School Improvement Research Series, pp1-36.

Cotton, Kathleen, 1991, School-Community Collaboration to Improve the Quality of Life for Urban Youth and Their Families, dalam School Improvement Research Series, pp 1-28.

Cross, K Patricia, 1996, Adult as Learning: Implications for Increasing Participations, Edisi Kedua, Jossey Bass Publisher, San Fransisco.

Crawford, Michael. 2001. Contextual Teaching and Learning: Strategy for Creative Constructivist Classroom. Connection (Online) 11 No.6. Hyperlink. http://www.cord.org diakses 27 April 2002.

Crow. I. W. 1989. The Nature of Critical Thinking. Journal of College Science Teaching. November: 114 - 116.

Dikmen. 2002a. Konsep Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup (Life Skill Education) Melalui Pendekatan Pendidikan Berbasis Luas (Broad Based Education). Buku 1. Jakarta: Dirjendikdesmen, Depdiknas.

Dimyati dan Mudjiono, 1994, Belajar dan Pembelajaran, Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti, Jakarta.

Fatchan, Ach, 1997, Pendekatan Andragogik Untuk Training Calon Instruktur Guru Geografi di SMA, PPPG IPS-PMPKn Malang, Malang.

Fatchan, Ach, et-all, 2004, Evaluasi Transformasi Pendidikan Dasar Di Lombok Timur, Lemlit UM – Plan Internasional Indonesia, Malang, Surabaya.

Purwito, Hendri; Marhadi, SK; Hadi Sukamto, 2005, Penerapan Pembelajaran Berbasis Proyek Bagi Mahasiswa Jurusan Geografi UM-Malang, Dirjen Dikti, DP2M, Jakarta – Lemlit UM-Malang, Malang.

Gage, N.L and David C. Berliner, 1985, Educational Psychology, Gulf Publising Company, New York.

Herdri Purwito dan Mustofa, 2005, Penerapan Pembelajaran Geografi dengan Metode Tematik Bagi Mahasiswa Jurusan Geografi UM-Malang, Dirjen Dikti, DP2M, Jakarta – Lemlit UM-Malang, Malang.

Johnson, Elaine B. 2002. Contextual Teaching and Learning. Thousand Oaks, California: Corwin Press, Inc. A Soge Publications Company.

Kunkel, John H, 1975, Behavior, Social Problems, and Change: A Social Learning Approach, Prentice Hall, Inc, New York.

Lawson, Anton, E. 1992. Development of Reasoning Among College Biology Student.\'- A Review of Research. JCST: Vol. XX1 (6) May: 338 - 344.

Novak, 1. D. daTI Gowin, D. Bab. 1985. Learning How To Learn. Cambridge: University Press.

Nurhadi, M. 2002-a. Pengajaran Berpusat pada Siswa don Pendekatan Konstruktivis Dalam Pengajaran. Versi Transportasi. Surabaya: Centre of School Science and Mathematics Postgraduate Program of State University of Surabaya.

Nurhadi, M. 2002-b. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning).Malang: Universitas Negeri Malang.

IPPSJ Pendidikan Geografi. 2005/2006. Portfolio Program Studi (Laporan Evaluasi Diri Sebagai Bahan Akreditasi Program Studi)o Malang: PPS UM MALANG.

Plan Internasional Indonesia, 2003, Transformasi Pendidikan Anak SD, Plan Internasional Indonesia, Surabaya.

Rostana, E. Cecep. 2002. Pembelajaran don Pengajaran Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar daTI Menengah Direktorat Sekolah Lanjutan Pertama.

Setjo, Susetyoadi. 2003. Belajar Mengajar Kontekstual: Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup. Makalah disampaikan dalam Workshop Piloting di Universitas Negeri Malang, 23 - 25 Januari 2003.

Susilo, H. 1999. Peta Konsep: Alat Pembelajaran yang renting untuk Pembelajaran Sains dengan Filosofi Konstruktivisme: Materi Bacaan Mata Kuliah: Dasar-dasar Pendidikan. MIPA, 28 -41.

Susilo, H. 2001. Pembelajaran Kontekstual Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa. Makalah disampaiakan pada Seminar Pembelajaran Dengan Filosofi Konstruktivisme, Jombang, 22 September.

Staton, F.T, 1978, Cara Mengajar dengan Hasil yang Baik, alih bahasa JF. Tahalele, Diponegoro, Bandung.

Thiagarajan, S., Semmel, D. S., Semmel, M. L. 1974. Intructional Development for Training Teacher of Exceptional Children. Minnesota: Indiana University.

Toffler, Alvine, (Editor), 1974, Learning for Tomorrow, Vintage Book, New York, Unitade State of America.

Ullich, Robert, 1971, Phylosophy of Education, American Book Company, New York, Unitade State of America.

University of Washington (College of Education). 200 I. Training for Indonesia Educational Team In Contextual Teaching and Learning. Seatle, Washington, USA.

Woods, D. R. 1996. Teaching and Learning: What can Research Tell Us?; Journal of College Science Teaching. XXV (3): 229 - 232.

Worthen, R. Blaine and James R. Sanders, 1983, Educational Evaluation: Teory and Practice, Wadsworth Publishing Co,Ltd, Belmont – California.

Yager, R. E. dan Huang, Dar Sun. 1994. An Alternative Approach to College Science Education for Nonscience Majors. Journal of College Science Teaching. November: 98 - 100.

Tidak ada komentar: